Adanya banyak pengangguran saat ini, sedikit banyak merupakan akibat dari rusaknya status suami sebagai pencari nafkah tunggal bagi keluarga. Seandainya semua wanita yang bekerja di luar rumah menyerahkan pekerjaannya pada laki-laki, dan kembali mengasuh anak-anaknya di rumah, maka pengangguran bisa dipangkas dan akan diperoleh generasi baru anak-anak yang mendapatkan limpahan kasih sayang dan didikan secara lengkap.
Aturan Islam baik tentang “Ar-rijalu qowwamuna ala nisa’” maupun tentang suami sebagai pencari nafkah bagi keluarga bukannya mendiskriminasi wanita, tapi justru demi keseimbangan dan kestabilan masyarakat. Dengan menikah, mengurus rumah, dan mendidik anak-anaknya, bukannya wanita diperlakukan tidak adil, tapi justru itulah dorongan kodratinya, yang jika tidak terpenuhi justru akan membuatnya tertekan. Seperti yang ditulis oleh Danielle Crittenden dalam “Wanita Salah Langkah ? : Menggugat Mitos – Mitos Kebebasan Wanita Modern” :
Bagi generasi yang dibesarkan untuk mempercayai sepenuhnya bahwa pria dan wanita itu setara, maka pengorbanan dan kesediaan kaum wanita untuk mengalah dalam perkawinan tampaknya tidaklah adil. Dalam perkawinan yang suami dan istrinya sama-sama bekerja, mengapa wanita dituntut lebih banyak menyelesaikan tugas-tugas rumah tangga ? Mengapa kita berasumsi bahwa si Ibulah, bukan si ayah, yang harus mengrbankan karier dan ambisinay demi anak-anak ?
Dan ketidakadilan ini, yang dengan segera dirasakan para istri, jauh lebih mendalam lagi. Ketidakadilan itu bukan saja menyangkut apa yang diharapkan suami dan masyarakat dari dirinya, melainkan, yang lebih halus lagi, menyangkut impulsnya sendiri untuk melakukan segala sesuatu dan berkorban demi suami dan keluarganya. Gloria Steinem menyebut impuls wanita ini “penyekit rasa sayang”—kebutuhan untu memperhatikan dan mengurus orang-orang di sekitar kita, menyediakan obat untuk si sakit, dan memperhatikan masalah orang lain dulu dan mengesampingkan masalah kita sendiri............................................................Dan hal tersebut lebih mengejutkan lagi bagi wanita yang selama masa lajangnya menghindari kompromi dan komitmen; wanita yang dalam kehidupan asmaranya berhasil mempertahankan hubungan asmaranya dengan kaum pria sama seperti dia memperthanakan hubungan kerjanya dalam hubungan profesionalnya. Tiba-tiba saja semua dorongan domestik yang dirasakannya tentang perkawinan—keinginannya untuk memiliki rumah, memiliki anak—bertubrukan dengan kehawatirannya akan kehilangan kemerdekaannya. Dorongan-dorongan ini pun bertubrukan juga dengan persepsi dirinya sebagai wanita modern. Kenyataan bahwa dia memiliki keinginan dalam dirinya sendiri untuk menyerah dan menjalani perannya sebagai istri benar-benar menakutkan—bahkan demikian menakutkannya sehingga mungkin benar-benar membuatnya tidak mau menikah.
Jika wanita dibebani tugas-tugas rumah tangga yang dianggap “rendah” (padahal itu tugas mulia), maka kaum adam juga dibebani tugas untuk memenuhi kebutuhan keluarganya dan memandu keluarganya dalam kehidupan sosial(tugas ini juga sama sekali tidak ringan). Ketidakadilan yang disangka oleh para feminis tengah berlangsung terhadap kaum wanita, sebenarnya hanya hidup dalam imajinasi mereka saja. Aminah Wadud, misalnya, yang mengimami shalat jum’at campur pria dan wanita di dalam gereja, justru menodai kesakralan hubungan pria dan wanita yang sudah digariskan dalam Islam dan kesakralan ibadah itu sendiri. Tuntutan para feminis yang mengaku Islam untuk melarang poligami sepenuhnya, justru akan menumbuhsuburkan pelacuran dan perceraian yang notabene sangat merugikan wanita. Tuntutan untuk meniadakan masa idah bagi wanita maupun mengadakan masa idah bagi pria pun, terlalu tidak logis untuk diwujudkan. Salah satu tujuan adanya masa idah adalah demi kejelasan nasab anak-anak mereka, yang seperti menjadi tema beberapa sinetron lokal, bisa jadi masalah besar jika tidak tentu siapa ayah siapa.
Kesetaraan pria dan wanita sebagai hamba Allah memang tak perlu diragukan lagi. Namun perlu disadari bahwa pria dan wanita memang berbeda. Walaupun demikian, perbedaan kodrati ini tidak lantas melahirkan pernyataan mutlak bahwa wanita tidak boleh bekerja dan pria tidak perlu mengurus anak, seperti pandangan masyarakat tradisional. Wanita juga perlu mengembangkan pengetahuan dan mengaktualisasikan dirinya agar mampu mendidik anak-anak yang cerdas lahir batin. Dan anak laki-laki juga bisa jadi banci jika setiap hari tak pernah melihat sosok ayahnya. Dia takkan tahu bagaimana bersikap sebagai laki-laki jika hanya dididik oleh wanita. Jadi, anggapan tradisional jawa (dan suku-suku lain) bahwa wanita adalah “konco wingking” juga keliru.
Development is about improving the material and spiritual lives of all people and not about aggregate statistics of industrial production or national income ~Todaro~
Minggu, 27 Januari 2008
ASURANSI SYARIAH MELAJU TANPA RAMBU-RAMBU
Bisnis yang berlandaskan ekonomi Islam terus berkembang. Tidak hanya perbankan dan asuransi, tapi juga pasar modal, lembaga pembiayaan syariah, hotel syariah, hingga ritel syariah. Semua itu membuktikan bahwa ekonomi Islam sangat dinamis dan cocok diterapkan dalam berbagai kegiatan ekonomi. Selain perbankan syariah, perkembangan asuransi syariah di Indonesia juga cukup fenomenal.
Setelah 13 tahun asuransi syariah beroperasi di Indonesia, pada tahun 2006 pangsa pasarnya berada pada 1,11%. Jika dibandingkan dengan asuransi konvensional, memang jumlah itu sangat kecil. Namun sejak Syarikat Takaful Indonesia (STI) pertama kali berdiri pada 2004, pertumbuhan premi asuransi Syariah di Indonesia mencapai 40 % per tahun. Bandingkan dengan asuransi konvensional yang hanya berada pada kisaran 25 % per tahun. Padahal, asuransi konvensional sudah ada sejak 1912, ketika Asuransi Bumiputera lahir.
Di lain pihak, asuransi syariah belum memiliki kelengkapan infrastruktur yang memadai. Contohnya, Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) perbankan syariah sudah ada, sedangkan asuransi syariah belum memilikinya. PSAK membuat pengukuran kinerja asuransi syariah menjadi lebih valid. Terutama ketika akan membandingkan kinerja satu operator asuransi syariah dengan lainnya. Karena dengan adanya PSAK, format laporan keuangan operator asuransi syariah menjadi seragam. Yang ada kini, masing-masing asuransi syariah memiliki standar yang berbeda-beda. Kebanyakan memodifikasi dari PSAK asuransi konvensional. Sayangnya, karena memakai itu, perbedaan hakiki asuransi konvensional dan syariah menjadi tidak terlihat, demikian ungkap majalah Sharing Oktober 2007.
Payung hukum yang dapat digunakan hanyalah beberapa keputusan Menkeu dan SK Dirjen Lembaga Keuangan yang justru dibuat untuk asuransi konvensional tapi memuat beberapa ketentuan syariah.. Kini, Industri asuransi syariah bersama Departemen Keuangan, akademisi, dan unsur Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI) tengah mengusahakan PSAK asuransi syariah.
Setelah 13 tahun asuransi syariah beroperasi di Indonesia, pada tahun 2006 pangsa pasarnya berada pada 1,11%. Jika dibandingkan dengan asuransi konvensional, memang jumlah itu sangat kecil. Namun sejak Syarikat Takaful Indonesia (STI) pertama kali berdiri pada 2004, pertumbuhan premi asuransi Syariah di Indonesia mencapai 40 % per tahun. Bandingkan dengan asuransi konvensional yang hanya berada pada kisaran 25 % per tahun. Padahal, asuransi konvensional sudah ada sejak 1912, ketika Asuransi Bumiputera lahir.
Di lain pihak, asuransi syariah belum memiliki kelengkapan infrastruktur yang memadai. Contohnya, Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) perbankan syariah sudah ada, sedangkan asuransi syariah belum memilikinya. PSAK membuat pengukuran kinerja asuransi syariah menjadi lebih valid. Terutama ketika akan membandingkan kinerja satu operator asuransi syariah dengan lainnya. Karena dengan adanya PSAK, format laporan keuangan operator asuransi syariah menjadi seragam. Yang ada kini, masing-masing asuransi syariah memiliki standar yang berbeda-beda. Kebanyakan memodifikasi dari PSAK asuransi konvensional. Sayangnya, karena memakai itu, perbedaan hakiki asuransi konvensional dan syariah menjadi tidak terlihat, demikian ungkap majalah Sharing Oktober 2007.
Payung hukum yang dapat digunakan hanyalah beberapa keputusan Menkeu dan SK Dirjen Lembaga Keuangan yang justru dibuat untuk asuransi konvensional tapi memuat beberapa ketentuan syariah.. Kini, Industri asuransi syariah bersama Departemen Keuangan, akademisi, dan unsur Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI) tengah mengusahakan PSAK asuransi syariah.
Jumat, 18 Januari 2008
MELACAK MLM SYARI’AH
Saat ini, keberadaan Multi Level Marketing Syari’ah masih menjadi kontroversi bagi sebagian masyarakat ekonomi syari’ah. Berbagai alasan menjadi penyebab keraguan masyarakat akan kehalalan MLM. Menurut Ust. H. Ahmad Sarwat, Lc , dalam kolom ”Ustadz Menjawab” di www.eramuslim.com, ada beberapa hal yang perlu diteliti, sebelum memberi cap halal ataupun haram, pada sebuah MLM.
Hukum dasar MLM, seperti halnya masalah muamalah yang lain, adalah mubah, sampai nanti ada hal-hal yang dilarang dalam syariah islam. Namun MLM konvensional kerap kali mengindikasikan riba (memutar dana yang terkumpul), gharar (penipuan), dharar (hal-hal yang membahayakan, merugikan, atau menzhalimi pihak lain), dan jahalah (ketidaktransparanan dalam sistem dan aturan). Jangan terburu-buru dulu memvonis sebuah MLM, sebelum diketahui secara pasti tentang keempat hal itu.
Namun, sebelum memberi cap syari’ah, hendaknya juga dipastikan dulu legalisasi syari’ah dari perusahaan MLM yang bersangkutan. Apakah dewan syari’ahnya benar-benar berfungsi, atau hanya sekedar label ? Kemudian, barang-barang yang dijual dalam MLM itu juga harus benar-benar halal dan bukan merupakan produk musuh Islam. Selain itu, jangan sampai MLM tersebut berdusta dengan memberi mimpi semu tentang jadi milyuner dalam waktu singkat, bonus mewah, dan lain-lain, yang hanya akan membuat orang bermimpi belaka.
Diluar masalah-masalah tersebut, juga perlu diperhatikan bahwa MLM tidak boleh sampai mematikan kreatifitas dan produktifitas umat Islam. Umat ini butuh orang-orang yang mampu berkreasi, mencipta, melakukan aktifitas seni, menemukan hal-hal baru, mendidik, memberikan pelayanan kepada ummat dan pekerjaan pekerjaan mulia lainnya. Kalau semua potensi umat ini tersedot ke dalam bisnis pemasaran, maka matilah kreatifitas umat dan mereka hanya sibuk di satu bidang saja yaitu: B E R J U A L A N produk sebuah industri, ungkap Ust. H. Ahmad Sarwat.
Salah satu hal yang paling `mengganggu` dari sistem pemasaran langsung adalah metode pendekatan penawarannya itu sendiri. Karena memang di situlah ujung tombak dari sistem penjualan langsung dan sekaligus juga di situlah titik yang menimbulkan masalah. Banyak orang akan membeli suatu produk, hanya karena merasa tidak bisa menolak saat ditawari oleh teman lamanya, atau saudara jauhnya.
Bagaimanapun juga, jika ada sebuah MLM yang memang syar’i, dan menawarkan produk halal made in Indonesia, apakah kita masih akan memilih produk yang diragukan kehalalannya ? Perkembangan MLM konvensional yang notabene terindikasi riba, gharar, dharar, dan jahalah, telah merajalela. Bagaimana kita akan menghadapinya ? Sedangkan produk-produk berunsur syubhat beredar luas di pasaran dengan iklan-iklan yang tidak syar’i terpampang di televisi. Semua ini merupakan PR bagi masyarakat ekonomi syari’ah, agar bergerak cepat mencegah kerusakan masyarakat lebih lanjut, dengan membumikan ekonomi syari’ah.
Hukum dasar MLM, seperti halnya masalah muamalah yang lain, adalah mubah, sampai nanti ada hal-hal yang dilarang dalam syariah islam. Namun MLM konvensional kerap kali mengindikasikan riba (memutar dana yang terkumpul), gharar (penipuan), dharar (hal-hal yang membahayakan, merugikan, atau menzhalimi pihak lain), dan jahalah (ketidaktransparanan dalam sistem dan aturan). Jangan terburu-buru dulu memvonis sebuah MLM, sebelum diketahui secara pasti tentang keempat hal itu.
Namun, sebelum memberi cap syari’ah, hendaknya juga dipastikan dulu legalisasi syari’ah dari perusahaan MLM yang bersangkutan. Apakah dewan syari’ahnya benar-benar berfungsi, atau hanya sekedar label ? Kemudian, barang-barang yang dijual dalam MLM itu juga harus benar-benar halal dan bukan merupakan produk musuh Islam. Selain itu, jangan sampai MLM tersebut berdusta dengan memberi mimpi semu tentang jadi milyuner dalam waktu singkat, bonus mewah, dan lain-lain, yang hanya akan membuat orang bermimpi belaka.
Diluar masalah-masalah tersebut, juga perlu diperhatikan bahwa MLM tidak boleh sampai mematikan kreatifitas dan produktifitas umat Islam. Umat ini butuh orang-orang yang mampu berkreasi, mencipta, melakukan aktifitas seni, menemukan hal-hal baru, mendidik, memberikan pelayanan kepada ummat dan pekerjaan pekerjaan mulia lainnya. Kalau semua potensi umat ini tersedot ke dalam bisnis pemasaran, maka matilah kreatifitas umat dan mereka hanya sibuk di satu bidang saja yaitu: B E R J U A L A N produk sebuah industri, ungkap Ust. H. Ahmad Sarwat.
Salah satu hal yang paling `mengganggu` dari sistem pemasaran langsung adalah metode pendekatan penawarannya itu sendiri. Karena memang di situlah ujung tombak dari sistem penjualan langsung dan sekaligus juga di situlah titik yang menimbulkan masalah. Banyak orang akan membeli suatu produk, hanya karena merasa tidak bisa menolak saat ditawari oleh teman lamanya, atau saudara jauhnya.
Bagaimanapun juga, jika ada sebuah MLM yang memang syar’i, dan menawarkan produk halal made in Indonesia, apakah kita masih akan memilih produk yang diragukan kehalalannya ? Perkembangan MLM konvensional yang notabene terindikasi riba, gharar, dharar, dan jahalah, telah merajalela. Bagaimana kita akan menghadapinya ? Sedangkan produk-produk berunsur syubhat beredar luas di pasaran dengan iklan-iklan yang tidak syar’i terpampang di televisi. Semua ini merupakan PR bagi masyarakat ekonomi syari’ah, agar bergerak cepat mencegah kerusakan masyarakat lebih lanjut, dengan membumikan ekonomi syari’ah.
MENEROPONG UNCCC DARI INDONESIA
The United Nation Climate Change Conference (UNCCC) 2007 yang baru saja terlaksana pada Desember 2007 lalu berhasil melahirkan Bali Road Map. Bali Roadmap memungkinkan putaran perundingan berikutnya bisa dilakukan sehingga pada 2009 diharapkan sudah muncul protokol perubahan iklim baru untuk menggantikan Protokol Kyoto yang kadaluarsa pada 2012. Sebelumnya, sempat terjadi perundingan alot antara Negara maju dan Negara berkembang. AS, Jepang dan Kanada, misalnya, sempat menolak menurunkan emisi 25–40 persen. Perundingan berjalan alot karena Amerika Serikat ingin Cina dan India, dua negara berkembang penghasil emisi jumlah besar, ikut melakukan pemotongan emisi gas rumah kaca. Dalam Protokol Kyoto, dua negara berkembang itu tidak diwajibkan mengurangi emisi karena, meskipun jumlah totalnya besar, tapi perkapita kecil. Kemudian Amerika menentang masuknya angka pemotongan emisi 25-40 persen pada 2020 dalam rancangan kesepakatan. Akhirnya dicapai kompromi angka pemotongan emisi tidak muncul dalam teks kesepakatan Bali Road Map. Padahal Amerika menghasilkan 36 persen emisi dunia, Kanada 8 persen dan Jepang 18 persen.
Indonesia sendiri berhasil memasukkan agendanya dalam pasal kesepakatan. Indonesia yang memiliki hutan tropis terbesar ketiga di dunia setelah Brazil dan Kongo, datang ke pertemuan dengan agenda agar dunia internasional bersedia memberi kompensasi kepada negara yang memelihara hutan sebagai paru-paru dunia. Akhirnya kompensasi bagi negara berkembang agar tidak melakukan pembabatan hutan dimasukkan dalam pasal kesepakatan. "Para juru runding harus memberikan 'insentif positif' bagi negara berkembang yang mengurangi penebangan hutan," ungkap pasal yang disepakati (Tempointeraktif.com).
Ada enam gas rumah kaca yang perlu dikurangi, yaitu karbon dioksida, metan, nitrous oksida, sulfur heksafluorida, HFC, dan PFC, karena merusak atmosfer dan mengakibatkan kenaikan suhu bumi. Secara kumulatif, sebagian besar kerusakan lingkungan hidup saat ini diakibatkan oleh ulah Negara-negara maju (Negara Dunia Pertama), sementara kerusakan hutan terpusat di Negara-negara dunia Ketiga. Di lain pihak, kemampuan penduduk miskin di Negara-negara berkembang untuk beradaptasi dalam pemanasan global amat rendah, berbeda dengan Negara-negara maju sebagai konsumen terbesar sumber daya alam yang telah melengkapi diri dengan berbagai antisipasi.
Akan tetapi, jika angka tingginya angka kelahiran, pertumbuhan pendapatan rata-rata, dan melebarnya jurang ketimpangan kesejahteraan di negara-negara dunia ketiga terus berlanjut, maka merekalah yang nantinya paling bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan global di abad keduapuluh satu. Sampai sekarang belum jelas bagaimana biaya reformasi global itu harus dibagi-bagi. Seandainya rencana pembatasan emisi polusi perkapita secara global (sebagai pedoman pembagian tanggung jawab) benar-benar dilaksanakan secara penuh, maka pendekatan itu hanya akan menguntungkan negara-negara berkembang yang tingkat emisi per kapitanya lebih rendah daripada negara-negara maju. Sebaliknya, apabila rencana tingkat pembatasan emisi per kapita atau pembatasan tingkat pertumbuhan emisi nasional direalisir, maka hal itu jelas akan menghambat upaya-upaya pembangunan negara-negara dunia ketiga dalam upaya meningkatkan tingkat pendapatan dan kesejahteraan rakyatnya (Todaro&Smith, 2003:528).
Mengingat masih maju mundurnya kerjasama dunia dalam menangani kerusakan bumi sejak Protokol Kyoto pada 1997, jika umat manusia memang menginginkan kehidupan yang lebih baik bagi anak-cucunya, rasanya perlu penerapan prinsip “mulai dari diri sendiri, mulai dari hal kecil, dan mulai saat ini juga”. Sebab sebelum kesepakatan tercapai, masyarakat di negara dunia ketiga seperti Indonesia keburu dihantam berbagai efek kerusakan lingkungan dan pemanasan global, seperti gelombang pasang, badai, banjir, dan perubahan iklim yang merugikan petani. Dalam rangka mewujudkan pembangunan berkelanjutan, Pemerintah Indonesia perlu memperketat pengawasan pencemaran yang bersumber dari sektor industri, perijinan HPH dan pengawasan illegal logging, serta memperbaiki kebijakan-kebijakan lain yang berkaitan dengan transportasi dan lingkungan kumuh di daerah perkotaan serta pertanian masyarakat pedesaan.
Indonesia sendiri berhasil memasukkan agendanya dalam pasal kesepakatan. Indonesia yang memiliki hutan tropis terbesar ketiga di dunia setelah Brazil dan Kongo, datang ke pertemuan dengan agenda agar dunia internasional bersedia memberi kompensasi kepada negara yang memelihara hutan sebagai paru-paru dunia. Akhirnya kompensasi bagi negara berkembang agar tidak melakukan pembabatan hutan dimasukkan dalam pasal kesepakatan. "Para juru runding harus memberikan 'insentif positif' bagi negara berkembang yang mengurangi penebangan hutan," ungkap pasal yang disepakati (Tempointeraktif.com).
Ada enam gas rumah kaca yang perlu dikurangi, yaitu karbon dioksida, metan, nitrous oksida, sulfur heksafluorida, HFC, dan PFC, karena merusak atmosfer dan mengakibatkan kenaikan suhu bumi. Secara kumulatif, sebagian besar kerusakan lingkungan hidup saat ini diakibatkan oleh ulah Negara-negara maju (Negara Dunia Pertama), sementara kerusakan hutan terpusat di Negara-negara dunia Ketiga. Di lain pihak, kemampuan penduduk miskin di Negara-negara berkembang untuk beradaptasi dalam pemanasan global amat rendah, berbeda dengan Negara-negara maju sebagai konsumen terbesar sumber daya alam yang telah melengkapi diri dengan berbagai antisipasi.
Akan tetapi, jika angka tingginya angka kelahiran, pertumbuhan pendapatan rata-rata, dan melebarnya jurang ketimpangan kesejahteraan di negara-negara dunia ketiga terus berlanjut, maka merekalah yang nantinya paling bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan global di abad keduapuluh satu. Sampai sekarang belum jelas bagaimana biaya reformasi global itu harus dibagi-bagi. Seandainya rencana pembatasan emisi polusi perkapita secara global (sebagai pedoman pembagian tanggung jawab) benar-benar dilaksanakan secara penuh, maka pendekatan itu hanya akan menguntungkan negara-negara berkembang yang tingkat emisi per kapitanya lebih rendah daripada negara-negara maju. Sebaliknya, apabila rencana tingkat pembatasan emisi per kapita atau pembatasan tingkat pertumbuhan emisi nasional direalisir, maka hal itu jelas akan menghambat upaya-upaya pembangunan negara-negara dunia ketiga dalam upaya meningkatkan tingkat pendapatan dan kesejahteraan rakyatnya (Todaro&Smith, 2003:528).
Mengingat masih maju mundurnya kerjasama dunia dalam menangani kerusakan bumi sejak Protokol Kyoto pada 1997, jika umat manusia memang menginginkan kehidupan yang lebih baik bagi anak-cucunya, rasanya perlu penerapan prinsip “mulai dari diri sendiri, mulai dari hal kecil, dan mulai saat ini juga”. Sebab sebelum kesepakatan tercapai, masyarakat di negara dunia ketiga seperti Indonesia keburu dihantam berbagai efek kerusakan lingkungan dan pemanasan global, seperti gelombang pasang, badai, banjir, dan perubahan iklim yang merugikan petani. Dalam rangka mewujudkan pembangunan berkelanjutan, Pemerintah Indonesia perlu memperketat pengawasan pencemaran yang bersumber dari sektor industri, perijinan HPH dan pengawasan illegal logging, serta memperbaiki kebijakan-kebijakan lain yang berkaitan dengan transportasi dan lingkungan kumuh di daerah perkotaan serta pertanian masyarakat pedesaan.
Rabu, 02 Januari 2008
Menuju Research University
Di akhir tahun 2007 ini, di FE sempat diadakan dua Seminar Nasional Ekonomi yang keduanya diadakan di Gedung C7 Lantai 3. Seminar nasional pertama yang diadakan oleh BEM FE bekerjasama dengan KSEI UNNES pada 29 November 2007, dan yang kedua diadakan oleh fakultas pada 19 Desember 2007. Entah kebetulan, entah tidak, kedua seminar yang berembel-embel “nasional” ini sama-sama minim peserta dari kalangan mahasiswa. Bahkan ada kecenderungan mahasiswa hanya datang, presensi, duduk mendengarkan pembukaan, lalu pulang. Rasanya bisa dipahami jika alasan ketidakhadiran mereka hingga akhir acara adalah karena kuliah, tapi toh di saat-saat seminar itu, tak sedikit mahasiswa FE yang hanya duduk-duduk di Gazebo. Di lain pihak, saat ada pentas band di lingkungan kampus FE, mahasiswa berbondong-bondong menonton. Rendahnya partisipasi mahasiswa terhadap kegiatan-kegiatan yang bersifat akademik ini menimbulkan pertanyaan, layakkah mereka disebut “mahasiswa” ?
Begitupun saat ada lomba karya tulis ilmiah, hanya segelintir mahasiswa yang mengajukan karya tulisnya. Jika dikatakan karena tak ada waktu untuk membuatnya, kenapa mayoritas peserta lomba itu justru mahasiswa-mahasiswa yang menyandang julukan aktivis kampus ? Sembunyi dimana para mahasiswa yang aktivitas hariannya cuma kuliah ?
Kebijakan fakultas yang mengharuskan penerima beasiswa aktif di kegiatan non-kuliah, patut diacungi jempol. Namun perlu diingat juga, di zaman SPL, mereka yang berani kuliah dituntut untuk memiliki back up finansial. Dengan kata lain, hanya sedikit mahasiswa yang butuh beasiswa. Jadi, perlu tindakan lebih dari fakultas dalam upaya meningkatkan partisipasi mahasiswa dalam kegiatan-kegiatan akademik menuju terwujudnya universitas berbasis research.
Disamping itu, organisasi-organisasi kemahasiswaan juga dituntut untuk lebih meningkatkan perannya di bidang akademik, bukan semata menjadi event organizer . Kegiatan-kegiatan yang diadakan tidak perlu banyak, yang penting berbobot dan mampu menjaring partisipasi mahasiswa, bukan hanya sekedar untuk menjalankan program kerja.
Begitupun saat ada lomba karya tulis ilmiah, hanya segelintir mahasiswa yang mengajukan karya tulisnya. Jika dikatakan karena tak ada waktu untuk membuatnya, kenapa mayoritas peserta lomba itu justru mahasiswa-mahasiswa yang menyandang julukan aktivis kampus ? Sembunyi dimana para mahasiswa yang aktivitas hariannya cuma kuliah ?
Kebijakan fakultas yang mengharuskan penerima beasiswa aktif di kegiatan non-kuliah, patut diacungi jempol. Namun perlu diingat juga, di zaman SPL, mereka yang berani kuliah dituntut untuk memiliki back up finansial. Dengan kata lain, hanya sedikit mahasiswa yang butuh beasiswa. Jadi, perlu tindakan lebih dari fakultas dalam upaya meningkatkan partisipasi mahasiswa dalam kegiatan-kegiatan akademik menuju terwujudnya universitas berbasis research.
Disamping itu, organisasi-organisasi kemahasiswaan juga dituntut untuk lebih meningkatkan perannya di bidang akademik, bukan semata menjadi event organizer . Kegiatan-kegiatan yang diadakan tidak perlu banyak, yang penting berbobot dan mampu menjaring partisipasi mahasiswa, bukan hanya sekedar untuk menjalankan program kerja.
Pohon
Aku berdiri tegak di persimpangan jalan, sepanjang hari asyik menonton anak-anak jalanan beraksi di lampu merah. Mereka yang mencintai saat-saat lampu merah menyala itu adalah makhluk-makhluk tegar sepertiku, tak goyah diterpa hujan, tak lapuk disengat matahari. Namun adakalanya mereka sampai pada nasib naas, ketika pengendara bermata tapi tak melihat, melesat melawan hukum, dan menyambar tubuh kecil salahsatu dari mereka. Ingin rasanya aku berlari dan mengangkat mereka tinggi-tinggi hingga tak tergapai oleh marabahaya.
Aku berdiri tegak di persimpangan jalan, memendam kemarahan pada pada pelaku tabrak lari yang beraksi di tengah malam yang sepi. Tidakkah mereka menyadari adanya Dia yang selalu ada dimana-mana ?
Aku berdiri tegak di persimpangan jalan, menertawakan ketamakan manusia-manusia yang mengira diri mereka kaya. Mereka menghias raga dengan beragam kemewahan, lupa pada Dia Yang Maha Kaya. Menurutku, mereka hanya para pengemis gengsi dunia saja, yang tak tahu apa yang seharusnya mereka beli demi kekayaan abadi.
Aku berdiri tegak di persimpangan jalan, menjadi saksi kebejatan moral para pedagang kehormatan. Mereka yang menjual kefanaan raga demi api neraka, mereka yang membeli neraka dengan kepuasan semalam, mereka yang menganggap manusia adalah barang dagangan, tidakkah mereka menginginkan surga yang sesungguhnya ?
Aku berdiri tegak di persimpangan jalan, memaki dalam diam saat kulihat makhluk-makhluk tanpa nurani menghancurkan mata pencaharian para pedagang di tepi jalan. Bagaimana kabar mereka setelah diusir ? apakah mereka akan kembali kemari, mengais rezeki ? Kuharap mereka tak kembali, agar tak lagi mengotori tanahku dengan sampah.
Aku berdiri tegak di persimpangan jalan, menghirup udara beracun sambil menangis. Racun yang menghancurkan sel-sel tubuhku itu merasuk dalam tiap miligram zat yang kuserap dari udara, tanah, dan air. Masih adakah yang dinamakan kesehatan di dunia ini ?
Buat apa mereka menyiksaku, memaksaku berdiri sepanjang hari di persimpangan jalan ? Apakah hanya untuk pajangan belaka, layaknya hiasan penyejuk mata ? Buat apa mereka menanamku disini, jika hanya untuk menyakitiku ? Percuma aku ada di dunia ini, karena aku tak bisa mengatakan pada mereka, seberapa besar kehancuran yang mereka buat atas diri mereka sendiri.
Jikalaupun hidup hanya seperti mimpi yang sekejap lalu pergi, tetap saja tak seorangpun berhak merusak hidup anak keturunan mereka demi kenikmatan diri sendiri. Bukankah lebih baik bermimpi buruk sekejap, lalu menyesap kenikmatan saat terbangun ? Ataukah lebih baik bermimpi senang sebentar, lalu terbangun dalam kesengsaraan ?
13 Agustus 2007
Aku berdiri tegak di persimpangan jalan, memendam kemarahan pada pada pelaku tabrak lari yang beraksi di tengah malam yang sepi. Tidakkah mereka menyadari adanya Dia yang selalu ada dimana-mana ?
Aku berdiri tegak di persimpangan jalan, menertawakan ketamakan manusia-manusia yang mengira diri mereka kaya. Mereka menghias raga dengan beragam kemewahan, lupa pada Dia Yang Maha Kaya. Menurutku, mereka hanya para pengemis gengsi dunia saja, yang tak tahu apa yang seharusnya mereka beli demi kekayaan abadi.
Aku berdiri tegak di persimpangan jalan, menjadi saksi kebejatan moral para pedagang kehormatan. Mereka yang menjual kefanaan raga demi api neraka, mereka yang membeli neraka dengan kepuasan semalam, mereka yang menganggap manusia adalah barang dagangan, tidakkah mereka menginginkan surga yang sesungguhnya ?
Aku berdiri tegak di persimpangan jalan, memaki dalam diam saat kulihat makhluk-makhluk tanpa nurani menghancurkan mata pencaharian para pedagang di tepi jalan. Bagaimana kabar mereka setelah diusir ? apakah mereka akan kembali kemari, mengais rezeki ? Kuharap mereka tak kembali, agar tak lagi mengotori tanahku dengan sampah.
Aku berdiri tegak di persimpangan jalan, menghirup udara beracun sambil menangis. Racun yang menghancurkan sel-sel tubuhku itu merasuk dalam tiap miligram zat yang kuserap dari udara, tanah, dan air. Masih adakah yang dinamakan kesehatan di dunia ini ?
Buat apa mereka menyiksaku, memaksaku berdiri sepanjang hari di persimpangan jalan ? Apakah hanya untuk pajangan belaka, layaknya hiasan penyejuk mata ? Buat apa mereka menanamku disini, jika hanya untuk menyakitiku ? Percuma aku ada di dunia ini, karena aku tak bisa mengatakan pada mereka, seberapa besar kehancuran yang mereka buat atas diri mereka sendiri.
Jikalaupun hidup hanya seperti mimpi yang sekejap lalu pergi, tetap saja tak seorangpun berhak merusak hidup anak keturunan mereka demi kenikmatan diri sendiri. Bukankah lebih baik bermimpi buruk sekejap, lalu menyesap kenikmatan saat terbangun ? Ataukah lebih baik bermimpi senang sebentar, lalu terbangun dalam kesengsaraan ?
13 Agustus 2007
23:38 10/05/2007 Thursday Night
Salah satu manga yang amat kusukai adalah Rurouni Kenshin (Nobuhiro Watsuki). Salah satu yang dituturkan disana adalah jalan para ksatria yang tak selamanya sama. Benturan antara dua hal, misalnya, Shinsengumi yang menolak restorasi dan Choshu yang mendukung restorasi, keduanya saling bertempur dan berkorban. Pandangan dan cara yang dilakukan mereka untuk mencapai tujuan yang sama, amat berbeda. Padahal keduanya sama-sama menginginkan masa depan Jepang yang lebih baik, tapi dengan cara yang berbeda. Pada akhirnya, pihak yang kalah pun tetap saja menyumbangkan sesuatu bagi zaman yang baru.
Menurutku ini seperti rumus x+y = x+y. Dua hal berbeda, kalau dipertemukan demi mencapai tujuan yang sama, baik dengan cara diskusi baik2 ataupun saling hantam, pada akhirnya akan saling melengkapi dan menghasilkan adonan yang lebih baik daripada jika hanya y saja ataupun x saja.Dengan syarat, keduanya positif. Kalau negatif sih, malah mengurangi nilai.
Jadi, pihak oposisi di pemerintahan sekalipun, jika tujuannya adalah sama dengan partai yang berkuasa, yaitu menyejahterakan negri, seharusnya melahirkan sesuatu yg lebih baik, bukannya malah cuma intrik-intrik dan saling menjatuhkan. Kalau tak melahirkan sesuatu yang lebih baik, berarti ada kepentingan-kepentingan lain, baik di sisi x maupun di sisi y. karena ax+y=ax+y, nggak mungkin hasilnya x+y, kecuali kalau a=0, dan itu berarti nggak ada unsur a.
Hal yang sama dituturkan oleh The Last Samurai (Warner Bros), walau cara yang ditempuh sang Kaisar dan Katsumoto demi negeri adalah cara yang berbeda, sang Kaisar menginginkan Jepang maju dengan mencontoh Barat, sedang Katsumoto menghendaki agar masyarakat tetap memegang identitas samurai, tapi pada akhirnya setelah kematian Katsumoto, sang Kaisar bisa mengerti dan...kalau lihat Jepang saat ini yang berteknologi tinggi tapi tetap memelihara nilai-nilai tradisional, rasanya kau tahu kan, apa yang kupikirkan?
Baik Rurouni Kenshin maupun The Last Samurai, tentu saja cuma kisah-kisah samurai fiktif yang didirikan diatas fondasi sejarah. Akan tetapi tak bisa dipungkiri bahwa mereka mengandung nilai-nilai yang takkan kita dapat di kehidupan nyata dengan mudah, dan apa yang kubahas disini hanya sebagian kecil saja darinya.
Menurutku ini seperti rumus x+y = x+y. Dua hal berbeda, kalau dipertemukan demi mencapai tujuan yang sama, baik dengan cara diskusi baik2 ataupun saling hantam, pada akhirnya akan saling melengkapi dan menghasilkan adonan yang lebih baik daripada jika hanya y saja ataupun x saja.Dengan syarat, keduanya positif. Kalau negatif sih, malah mengurangi nilai.
Jadi, pihak oposisi di pemerintahan sekalipun, jika tujuannya adalah sama dengan partai yang berkuasa, yaitu menyejahterakan negri, seharusnya melahirkan sesuatu yg lebih baik, bukannya malah cuma intrik-intrik dan saling menjatuhkan. Kalau tak melahirkan sesuatu yang lebih baik, berarti ada kepentingan-kepentingan lain, baik di sisi x maupun di sisi y. karena ax+y=ax+y, nggak mungkin hasilnya x+y, kecuali kalau a=0, dan itu berarti nggak ada unsur a.
Hal yang sama dituturkan oleh The Last Samurai (Warner Bros), walau cara yang ditempuh sang Kaisar dan Katsumoto demi negeri adalah cara yang berbeda, sang Kaisar menginginkan Jepang maju dengan mencontoh Barat, sedang Katsumoto menghendaki agar masyarakat tetap memegang identitas samurai, tapi pada akhirnya setelah kematian Katsumoto, sang Kaisar bisa mengerti dan...kalau lihat Jepang saat ini yang berteknologi tinggi tapi tetap memelihara nilai-nilai tradisional, rasanya kau tahu kan, apa yang kupikirkan?
Baik Rurouni Kenshin maupun The Last Samurai, tentu saja cuma kisah-kisah samurai fiktif yang didirikan diatas fondasi sejarah. Akan tetapi tak bisa dipungkiri bahwa mereka mengandung nilai-nilai yang takkan kita dapat di kehidupan nyata dengan mudah, dan apa yang kubahas disini hanya sebagian kecil saja darinya.
Langganan:
Postingan (Atom)