Selasa, 14 Juli 2009

PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR SECARA BERKELANJUTAN PASCA TSUNAMI DESEMBER 2004

Pesisir merupakan wilayah yang sangat berarti bagi kehidupan manusia di bumi.Sebagai wilayah peralihan darat dan laut yang memiliki keunikan ekosistem, dunia memiliki kepedulian terhadap wilayah ini, khususnya di bidang lingkungan dalam konteks pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Secara historis, kota-kota penting dunia bertempat tidak jauh dari laut. Alasannya, kawasan ini memiliki potensi sumber daya kelautan dan perikanan, serta memudahkan terjadinya pedagangan antar daerah, pulau dan benua.

Selain itu, wilayah pesisir juga merupakan daerah penghambat masuknya gelombang besar air laut ke darat, yaitu dengan keberadaan hutan mangrove. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketebalan mangrove selebar 200 m dengan kerapatan 30 pohon/100 m2 dengan diameter batang 15 cm dapat meredam sekitar 50% energi gelombang tsunami (Harada dan Fumihiko, 2003 sebagaimana dikutip oleh Anwar dan Gunawan, 2006). Gelombang laut setinggi 1,09 m di Teluk Grajagan, Banyuwangi dengan energi gelombang sebesar 1.493,33 Joule tereduksi gelombangnya oleh hutan mangrove menjadi 0,73 m. Namun, data LIPI (2008) menyebutkan, laju kerusakan hutan bakau sekitar 200.000 hektar per tahun, yakni terjadi di Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, dan Jawa. Luas hutan bakau di seluruh Tanah Air kini diperkirakan hanya tinggal 1,2 juta hektar karena sebagian sudah beralih menjadi tambak, permukiman, dan kawasan industri. Padahal, luas wilayah pesisir Indonesia dua pertiga dari luas daratan dan garis pantainya 95.161 kilometer atau terpanjang kedua di dunia.

Pada masa Orde Baru, pengaturan wilayah pesisir dan laut lebih banyak dilakukan oleh pemerintah pusat. Hal ini dapat dilihat pada UU nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang pasal 9 ayat 2 dimana dinyatakan bahwa wilayah lautan dan wilayah udara diatur secara terpusat menurut undang-undang. Namun di masa reformasi,dengan kelahiran UU Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah,Kabupaten/Kota memiliki kewenangan mengatur wilayah perairan yang ada di wilayahnya sejauh 4 mil dari garis pantai. Selain itu juga diterbitkan Undang- Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Sebagai negara kepulauan, wilayah pesisir dimiliki oleh seluruh propinsi yang ada di
Indonesia. Berdasarkan data jumlah Kabupaten/kota yang ada di Indonesia pada tahun 2002, sebanyak 219 kabupaten/kota (68%) diantaranya memiliki wilayah pesisir. Kabupaten/kota di Indonesia masing-masing memiliki karakteristik fisik wilayah pesisir yang satu sama lain berbeda. Disamping itu masing-masing kabupaten/kota juga memiliki perhatian yang berbeda di dalam pengelolaan wilayah pesisir. Konsekuensi dari perbedaan perhatian tersebut menghasilkan kebijakan dan instrumen kelembagaan yang berbeda satu sama lain dalam mengelola wilayah pesisirnya. Akan tetapi, hingga akhir tahun 2004, perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah lebih banyak bersifat sektoral. Pemerintah Daerah kabupaten/kota umumnya tidak membedakan secara khusus kawasan pesisir dengan kawasan lainnya.

Bencana tsunami pada tanggal 26 Desember 2004, merubah pandangan banyak pihak
mengenai pentingnya pengelolaaan pesisir dan laut yang memperhatikan aspek
disaster management serta perlunya konsistensi penerapan kebijakan pesisir dan lautan dalam rangka pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Tragedi bencana gempa dan tsunami adalah sejarah paling kelam di provinsi Aceh. Sebagian besar wilayah pesisir tersapu dengan menelan ratusan ribu jiwa. Infrastruktur, permukiman dan sarana sosial hancur. Bencana ini tak hanya menimbulkan pengaruh fisik tapi juga psikologis masyarakat Aceh yang trauma akibat kehilangan keluarga dan harta.

Bagaimana konsep pengelolaan wilayah pesisir secara berkelanjutan ?
Bagaimana penerapan pengelolaan wilayah pesisir secara berkelanjutan di
Aceh pasca tsunami?

Ini adalah salah satu karya tulis terbaik yang pernah saya tulis.
Baca lebih lanjut...

GENERAL MOTOR'S EMERGENCY STARTEGY

General Motors Corporation, juga dikenal dengan GM, adalah produsen mobil yang bermarkas di Detroit, Michigan, Amerika Serikat dengan wilayah operasi di seluruh dunia. GM yang didirikan tahun 1908 ini bergerak di industri otomotif dengan variasi produk mobil, mesin, elektronik, dan komunikasi. GM melayani industri otomotif di sekitar 140 negara dan sempat menjadi produsen kendaraan terbesar di dunia dari segi penjualan tahunan (global sales leader) selama 77 tahun, sejak 1931 hingga 2007. Pada 2001, GM menjual 8,5 juta kendaraan melalui seluruh cabangnya. Pada 2002, GM menjual 15% dari seluruh kendaraan dan truk di dunia. GM memiliki 160 pabrik di 34 negara yang mempekerjakan lebih dari 326.999 orang di tahun 2006 (menurun menjadi 252.000 orang pada 2008).

GM memproduksi banyak brand (merk) otomotif terkenal di Dunia, antara lain Buick,
Cadillac, Chevrolet, Daewoo, GMC, Holden, Hummer, Wuling, Opel, Pontiac, Saturn, Saab, dan Vauxhall. Divisi Chevrolet dan GMC memproduksi truk, dan juga kendaraan
penumpang lainnya. Merek lainnya termasuk ACDelco, Allison Transmission, dan
General Motors Electro-Motive Division, memproduksi lokomotif diesel-listrik. GM juga memiliki sejumlah saham kepemilikan Isuzu (49% selama 1971-2006), Subaru (20% selama 1999-2006), dan Suzuki (20% selama 1981-2008) di Jepang, Fiat di Italia (20% saham dengan option selama 2000-2005), dan memiliki sebuah joint venture dengan AutoVAZ (Lada) di Rusia. Pada Desember 2003, GM membeli Delta di Afrika Selatan, di mana GM telah sebelumnya mengambil 45% bagian pada 1997,dan sekarang menjadi anak perusahaan yang dimiliki penuh, General Motors Afrika Selatan.

GM merupakan unggulan dari tiga besar produsen otomotif Amerika Serikat (The Big
Three) yang terdiri atas GM, Chrysler, dan Ford. Namun, sejak tahun 2005,penjualan
tahunan GM terus menurun. Bahkan pada tahun 2008, kedudukan sebagai global sales leader direbut oleh Toyota. Disamping itu, GM termasuk salah satu perusahaan Amerika yang paling terpengaruh oleh Krisis Finansial saat ini. Hal ini ditandai oleh jatuhnya harga saham GM dan penurunan pendapatannya dari US$207,349 milyar pada tahun 2006 menjadi hanya US$ 148.979 milyar pada tahun 2008. Pada Bulan Februari 2008, GM mengumumkan kerugian sebesar US$39 milyar, kerugian terbesar dalam sejarah otomotif Amerika. Satu bulan kemudian, GM
mengumumkan posisi kas sebesar US$24 milyar, atau menurun US$6 milyar dibanding bulan September 2007, yang berarti ada kerugian sebesar US$ 1 milyar per bulan. Hal ini terus berlanjut hingga pada 1 Agustus 2008, GM mengumumkan total kerugian US$
15,5 milyar.

Kondisi GM kian memburuk pada tahun 2009. Penjualan sektor automotif di Amerika
Serikat sepanjang bulan Februari turun drastis hingga 41 persen dibandingkan Februari tahun 2008. Dari total penurunan ini, GM menjadi produsen otomotif paling parah penurunan penjualannya, yaitu 53 persen, Ford 48 persen, dan Chrysler 44 persen. Pada kuartal I-2009, GM mencatat kerugian hingga US$ 5,9 miliar. Pendapatan GM anjlok hingga 47% menjadi US$ 22,4 miliar, dan GM juga memangkas produksi globalnya hingga lebih dari 900.000 kendaraan atau sekitar 40%.

Mengapa GM, yang merupakan salah satu perusahaan raksasa dunia, mengalami kebangkrutan ? Apa yang dilakukan oleh manajemen GM untuk mengatasi masalah-msalah yang menghimpit GM ?

baca disini...

Industri CPO Indonesia

Krisis keuangan global saat ini merupakan pukulan besar bagi perekonomian seluruh negara di Dunia. Indonesia pun mengalami dampak krisis keuangan tersebut dengan sempat anjloknya Indeks BEI sebesar 41% sehingga bursa juga harus ditutup selama 2 hari. Dampak lain dari krisis keuangan tersebut yakni akan melemahkan daya beli masyarakat luar negeri, sehingga secara langsung akan berdampak pada kinerja ekspor Indonesia, khususnya ekspor Indonesia ke AS yang mencapai 20 persen dari total ekspor nasional.

Salah satu komoditas yang mengalami keterpurukan pasca krisis keuangan global adalah CPO (Crude Palm Oil). Selama tahun 2007-2008, petani Kelapa Sawit menikmati peningkatan kesejahteraan yang cukup tinggi, disebabkan karena tingginya harga CPO di pasar global. Namun, pasca krisis keuangan global, harga CPO turun drastis, padahal saat ini, industri kelapa sawit menjadi penyumbang devisa terbesar kedua setelah sektor minyak dan gas, dan juga telah membuka empat juta tenaga kerja. Bagaimana kondisi industri CPO di Indonesia saat ini ? dan upaya-upaya apa saja yang selayaknya diambil untuk meningkatkan daya saing dan ketahanan industri CPO terhadap instabilitas perekonomian ?

Baca selengkapnya

Sabtu, 16 Mei 2009

ANALISIS PERLINDUNGAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL DI INDONESIA

BAB 1
PENDAHULUAN

A.Latar Belakang
Pada 30 April 2009 lalu, United States Trade Representative (USTR) mengumumkan daftar Priority Watch List tahun 2009. PWL tersebut ternyata mencantumkan nama Indonesia sebagai salah satu negara yang perlu diawasi secara khusus dalam perlindungan hak cipta, bersama-sama dengan Cina, Rusia, Aljazair, Argentina, Kanada, Cili, India, Israel, Pakistan, Thailand dan Venezuela. Padahal, tahun lalu Indonesia hanya masuk dalam Watch List.

Setiap tahun pada bulan April, USTR membuat daftar (list) negara yang masuk dalam pengawasan terhadap mitra dagangnya di seluruh dunia berkaitan dengan perlindungan dan penegakan hukum HaKI. Ada tiga tingkatan daftar USTR. Level pertama adalah priority foreign country. Negara yang masuk dalam list priority foreign country menunjukkan masalah tingkat pembajakan hak cipta sangat serius, sehingga bisa terkena sanksi perdagangan. Level kedua adalah priority watch list. Negara yang masuk dalam daftar ini menunjukkan tingkat pembajakan hak cipta masih tinggi, sehingga perlu mendapat pengawasan khusus oleh AS. Level ketiga yaitu watch list, meliputi negara-negara yang masih melakukan pelanggaran dan pembajakan hak cipta, tapi relatif lebih ringan dibandingkan dengan priority watch list, sehingga negara yang masuk dalam daftar ini cukup diawasi saja.

Penempatan Indonesia dalam daftar utama pengawasan Amerika Serikat itu sesuai dengan usulan International Intellectual Property Alliance (IIPA) kepada USTR pada akhir Februari, karena IIPA menilai perlindungan dan penegakan hukum berkaitan dengan HaKI di Indonesia masih lemah.

B.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, muncul permasalahan mengenai mengapa perlindungan atas Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia masih lemah.

C.Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah menganalisis sebab-sebab lemahnya perlindungan atas Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia.

BAB 2
PEMBAHASAN

Secara umum, Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI atau HKI) terbagi dua jenis yaitu Hak Cipta dan Hak Kekayaan Industri. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 1 ayat 1). Sedangkan Hak Kekayaan Industri meliputi Paten, Merek, Desain Industri, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, Rahasia Dagang, dan Varietas Tanaman.

Di Indonesia, sistem perlindungan merek telah dimulai sejak tahun 1961, sistem perlindungan hak cipta dimulai sejak tahun 1982, sedangkan sistem paten baru dimulai sejak tahun 1991. Sebelum disempurnakan melalui peraturan perundang-undangan yang ditetapkan pada tahun 2001, tahun 1997 telah dilakukan perubahan terhadap ketiga peraturan perundang-undangan tersebut untuk menyesuaikan dengan kebutuhan dan Persetujuan TRIPS (Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights). Persetujuan TRIPS merupakan kesepakatan internasional yang paling komprehensif, dan merupakan suatu perpaduan dari prinsip-prinsip dasar GATT
(General Agreement on Tariff and Trade), khususnya tentang national treatment dan most-favoured nation dengan ketentuan-ketentuan substantif dari kesepakatan-kesepakatan internasional bidang hak kekayaan intelektual, antara lain Paris Convention for the protection of industrial Property dan Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works.

Sejalan dengan perubahan berbagai undang-undang tersebut di atas, Indonesia juga telah meratifikasi 5 konvensi internasional di bidang hak kekayaan intelektual, yaitu :
1)Paris Convention for the Protection of Industrial Property dan Convention Establishing the World Intellectual Property Organization (Keputusan Presiden No. 15 tahun 1997 tentang Perubahan atas Keputusan Presiden No. 24 Tahun 1979);
2)Patent Cooperation Treaty (PCT) and Regulation under the PCT (Keputusan Presiden No. 16 Tahun 1997);
3)Trademark Law Treaty (Keputusan Preiden No. 17 Tahun 1997);
4)Berne Convention for the Protection of Literary and Artisctic Works (Keputusan Presiden No. 18 Tahun 1997);
5)WIPO Copyright Treaty (Keputusan Presiden No. 19 Tahun 1997);

Pada saat ini Indonesia telah memiliki perangkat peraturan perundang-undangan di bidang hak kekayaan intelektual yang cukup memadai dan tidak bertentangan dengan ketentuan sebagaimana yang dipersyaratkan dalam Persetujuan TRIPS. Peraturan perundang-undangan dimaksud mencakup :
1)Undang-undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
2)Undang-undang No. 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman;
3)Undang-undang No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang;
4)Undang-undang No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri;
5)Undang-undang No. 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu;
6)Undang-undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten (UU Paten); dan
7)Undang-undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek;
Selain ketujuh Undang-undang tersebut, juga terdapat Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2004 tentang Sarana Produksi Berteknologi Tinggi Untuk Cakram Optik.

Namun, sekalipun sudah terdapat berbagai undang-undang mengenai perlindungan HaKI, hingga tahun 2004 Indonesia masih dipandang sebagai salah satu negara terburuk dalam hal perlindungan Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI). Berkali-kali Indonesia gagal keluar dari Priority Watch List. Menurut USTR, penyebabnya adalah tingginya pelanggaran Hak Cipta di Tanah Air yakni pembajakan cakram optik musik, film dan peranti lunak. Khusus di peranti lunak, laporan Business Software Alliance (BSA) menyebutkan tingkat pembajakan software di Indonesia pada 2003 mencapai 88% dengan kerugian potensial sekitar US$157 juta. Angka ini menempatkan Indonesia sebagai negara pembajak keempat di dunia dan ketiga di Asia Pasifik. Sejak 1999, negara ini tidak bisa beranjak dari posisi empat besar negara dengan tingkat pembajakan tertinggi.

Berbagai catatan buruk pelanggaran Hak Cipta itu merugikan citra Indonesia dalam aktivitas perdagangan dan investasi dunia. Padahal, keduanya sangat diperlukan untuk mengangkat negara ini dari krisis perekonomian. Status Priority Watch List berdampak psikologis dalam percaturan perdagangan internasional Indonesia walaupun tidak ada dampak secara langsung selama Indonesia tidak masuk Piority Foreign Country.. Bagi Amerika Serikat (AS) dan umumnya negara maju, perlindungan HaKI merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi mitra dagangnya. Jika hal ini diabaikan, AS akan menaikkan status negara mitra menjadi Foreign Priority Watch List dan memberikan sanksi dagang. Sanksi ini pernah diberikan kepada Ukraina dengan membatalkan ekspor negara itu ke AS senilai US$75 juta.

Minimnya perlindungan HaKI tidak hanya mencangam perdagangan dan iklim investasi nasional. Dalam kasus maraknya pembajakan peranti lunak, yang turut dirugikan adalah industri teknologi informasi (TI) nasional. Studi BSA dan IDC pada 2003 menyimpulkan industri TI di Tanah Air berpotensi menyumbangkan pendapatan sekitar US$2,4 miliar hingga 2006 jika mampu menurunkan tingkat pembajakan dari 88% menjadi 78%.

Untuk itu, Pemerintah berupaya keras untuk memperbaiki perlindungan HaKI ini dimulai dengan menggelar infrastruktur hukum. Indonesia sudah memiliki Undang-Undang Perlindungan HaKI yang berulangkali disesuaikan dengan standar TRIP (Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights) dari WTO (World Trade Organization). Terakhir, pemerintah memberlakukan secara efektif UU Hak Cipta (UU No.19/2002) pada pertengahan 2003. Berbagai razia pun digelar di mal-mal yang dikenal sebagai pusat penjualan software bajakan. Ditjen HaKI juga mengirim surat kepada 10.000 konsumen kalangan bisnis untuk mulai menggunakan peranti lunak legal.

Dalam memberantas software bajakan, pemerintah memprioritaskan pada pengguna korporasi. Pemerintah juga menggandeng asosiasi industri seperti Asosiasi Peranti Lunak Telematika Indonesia (Aspiluki) untuk memberikan edukasi dalam mengelola software sebagai aset. Namun tingkat pembajakan masih tinggi sementara konsumen masih dapat membeli dan menggunakan software bajakan dengan mudah. Malah muncul kritik dari masyarakat kepada pemerintah yang diduga kuat sebagai pengguna software bajakan terbesar. Pemerintah pun dituntut memberikan contoh dengan menggunakan peranti lunak legal.

Oleh karena itu, diselenggarakanlah kampanye Indonesia Go Open Source (IGOS) yang bertujuan untuk mengajak para pengusaha menggunakan Free Open Source Software (FOSS), dan memberantas penggunaan produk-produk software bajakan. Upaya ini dimulai dari lingkungan pemerintah sendiri untuk diteladani masyarakat. Bahkan komitmen pemerintah di bidang HaKI ditandai dengan pembentukan Tim nasional penanggulangan pelanggaran Hak atas kekayaan intelektual pada tahun 2006. Timnas HaKI ini beranggotakan 16 pejabat setingkat menteri dan dua Menteri Koordinator, yaitu Menkopolhukam dan Menko Perekonomian.

Berkat kerja keras Pemerintah, pada tahun 2006 Indonesia keluar dari Priority Watch List. Namun tahun 2009 ini, USTR kembali memasukkan Indonesia dalam PWL. Ada tiga kelemahan Indonesia dalam memberikan perlindungan dan penegakan hukum HaKI yang menjadi alasan utama yang dikemukakan USTR dalam rilisannya, yaitu:
1)Kebijakan Optical Disc dinilai tidak efektif (Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2004 tentang Sarana Produksi Berteknologi Tinggi Untuk Cakram Optik)
2)Rendahnya penuntutan terhadap kasus kejahatan di bidang HaKI, termasuk penyelidikan yang berjalan lambat dan sedikitnya jumlah kasus yang diajukan ke pengadilan.
3)Vonis hukuman penjara dan denda yang dijatuhkan oleh pengadilan tidak membuat efek jera

Faktanya, menurut Undang-Undang Hak Cipta (UU No.19/2002), pelanggaran terhadap undang- undang tersebut hanya dijatuhi hukuman pidana maksimal selama 7 tahun penjara dan denda paling banyak Rp 5 miliar. Selain hukuman yang dinilai kurang tegas, vonis pengadilan pun seringkali memicu kontroversi. Contohnya, walau menurut Undang-Undang Hak Cipta, alat produksi kejahatan harus dirampas dan disita oleh negara untuk dimusnahkan, tapi ada putusan pengadilan yang mengembalikan alat-alat produksi tersebut kepada pelaku.

Selain itu, IGOS yang diharapkan mampu mendorong penetrasi OSS yang akhirnya dapat menurunkan tingkat pembajakan dan mengeluarkan Indonesia dari status Priority Watch List, sebenarnya masih berupa deklarasi saja dan hanya bersifat gerakan moral.

Dari perspektif sosial budaya juga perlu dipahami bahwa budaya dan tingkat perekonomian sebagian besar masyarakat Indonesia belum siap untuk menerima sistem hukum HaKI yang kapitalistis. Hal ini juga terjadi di Cina dan Meksiko, yang mana hukum civil law yang mereka anut tidak sepenuhnya dapat beradaptasi dengan mudah dengan sistem hukum HaKI yang cenderung didominasi oleh negara berbasis sistem hukum common law.

Kondisi Indonesia yang sangat heterogen dengan tingkat modernisasi masing-masing golongan masyarakat yang berbeda, tidak memungkinkan penerapan HaKI secara tegas. Ada sebagian masyarakat yang masih terikat pada tradisi, sehingga sangat sulit bagi mereka untuk menerima norma hukum HaKI. Sebaliknya, ada pula sebagian anggota masyarakat yang berjiwa entrepreneur, sehingga menyambut baik kehadiran HaKI. Dan di antara kedua kelompok itu, ada kelompok masyarakat transisi, yang sudah bisa menerima nilai-norma globalisasi tetapi juga masih tidak bisa berpisah dengan kearifan tradisi.

Walaupun demikian, perlu dipahami bahwa HaKI harus dikembangkan untuk kemajuan bangsa Indonesia. Misalnya, dalam konteks pengembangan software, HaKI dapat mendorong produktifitas programmer dan software house Indonesia. Para pengarang, penyanyi, aktor, aktris, dan para pekerja seni yang lain juga membutuhkan HaKI untuk melindungi hasil karya mereka. Selain itu, tidak boleh dilupakan bahwa pembajakan dan penjiplakan juga dapat merugikan para importir dan pemegang lisensi. Sehingga dalam langkah Indonesia ke depan, perjuangan melindungi Hak atas Kekayaan Intelektual perlu dilakukan atas dasar manfaatnya bagi Indonesia, baik manfaat ekonomi, sosial, maupun politik internasional.

BAB 3
PENUTUP

A.Kesimpulan
Ada dua sebab mengapa perlindungan atas Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia masih lemah, yaitu :
1)Eksistensi berbagai Undang-undang perlindungan HaKI belum diiringi dengan pelaksanaan penegakan hukum yang dan aparat penegak hukum yang konsisten dan taat pada peraturan yang berlaku.
2)Budaya dan tingkat perekonomian sebagian besar masyarakat belum siap untuk menerima sistem hukum HKI yang kapitalistis.

B.Saran
1)Masuknya Indonesia dalam PWL 2009 menjadi bahan evaluasi bagi Pemerintah, bahwa eksistensi berbagai UU Perlindungan HaKI belum diiringi dengan pelaksanaan penegakan hukum yang dan aparat penegak hukum yang konsisten dan taat pada peraturan yang berlaku.
2)Peningkatan kesadaran akan Perlindungan HaKI di Indonesia yang masyarakatnya heterogen, perlu dilakukan secara perlahan-lahan. Selain itu, perlu dipahami bahwa perlindungan HaKI merupakan sarana untuk mengembangkan kreativitas dan teknologi kita.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Perindustrian. 2007. Kebijakan Pemerintah dalam Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual dan Liberalisasi Perdagangan Jasa Profesi di Bidang Hukum.
Lestari, Kurniasih Budi. 2007. Pengertian HAKI. http://ravi-azriel.blogspot.com/2007/05/pengertian-haki.html [diakses pada 06/05/2009]
Oemar, Suwantin. 2009. Berkaca Pada Priority Watch List Soal HaKI. http://web.bisnis.com/artikel/2id2179.html [diakses pada 06/05/2009]
Prastyo, Bryan. 2009. Priority Watch List. http://staff.blog.ui.ac.id/brian.amy/2009/05/04/priority-watch-list/ [diakses pada 06/05/2009]
Sunarmi. 2003. Peranan TRIPS (Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights) terhadap Hak Atas Kekayaan Intelektual Indonesia. USU Digital Library.
Syarif, Deriz S. 2004. RI Gunakan Open Source Untuk Keluar dari Priority Watch List. http://www.inovasi.lipi.go.id/hki/index.php [diakses pada 06/05/2009]
United States Trade Representative. 2009. Priority Watch List.

Rabu, 07 Januari 2009

KEBIJAKAN LARANGAN IMPOR

MAKALAH
KEBIJAKAN LARANGAN IMPOR

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ekonomi Internasional 2

Ditulis oleh :
Abida Muttaqiena (7450406003)

JURUSAN EKONOMI PEMBANGUNAN
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2008
_____________________________________________________________________________________

BAB 1
PENDAHULUAN

Pesatnya perkembangan teknologi telah mendorong terjadinya kompleksitas hubungan atau transaksi dagang internasional, yang menembus batas-batas negara serta perbedaan sistem hukum, sistem politik dan lain-lain dari dan antar pelaku dalam perdagangan internasional tersebut. Kompleksitas tersebut dapat dilihat, misalnya dari transaksi-transaksi yang berlangsung cepat, terjadinya persaingan dagang yang ketat baik perdagangan barang maupun jasa, yang kemudian menumbuhkan kebutuhan akan adanya suatu perdagangan bebas (free trade) yang dilangsungkan dengan fair, tanpa dibatasi dan atau diintervensi dengan pengenaan tarif, kuota, subsidi, kontrol nilai tukar, dan lain-lain yang bersifat proteksi dan dapat menghambat arus dan kelangsungan pedagangan tersebut.

Akan tetapi, berbagai kepentingan, khususnya aspek sosial dan politik telah membuat upaya peningkatan efisiensi perdagangan dan industri serta menciptakan tatanan perdagangan internasional yang lebih adil, belum dapat sepenuhnya terwujud dalam era perdagangan bebas. Walaupun berbagai komitmen telah disepakati baik di tingkat bilateral, regional, maupun multilateral, berbagai upaya untuk melindungi kepentingan masing-masing negara melalui berbagai jenis hambatan yang bersifat kualitatif masih tetap berjalan. Salah satu jenis hambatan kualitatif ini adalah Larangan Impor (Import Prohibition).

Berdasarkan data-data mengenai produk-produk yang termasuk dalam daftar larangan impor dari berbagai negara, dapat disimpulkan bahwa ada tiga hal yang menjadi sasaran dari kebijakan suatu negara dalam melarang impor produk tertentu, yaitu:
1)Orientasi lingkungan hidup.
2)Untuk menggiatkan industri substitusi impor yang ada di dalam negeri.
3)Untuk menjaga Balance of Payments


BAB 2
PERMASALAHAN

Dari uraian yang dikemukakan diatas, dapat disimpulkan bahwa ada tiga sasaran kebijakan larangan impor, yaitu orientasi lingkungan hidup, menggiatkan industri substitusi impor, dan menjaga Balance of Payments. Maka, permasalahan yang akan dibahas pada makalah ini adalah bagaimana kebijakan larangan impor memenuhi sasaran-sasaran kebijakan tersebut dan dampak apa saja yang ditimbulkannya.

Contoh-contoh kebijakan larangan impor yang berorientasi lingkungan hanya sedikit dan cenderung bervariasi dari masing-masing negara, sehingga pembahasan akan meliputi berbagai negara. Sedangkan kebijakan larangan impor yang berorientasi pada indutri substitusi impor dan balance of payments, telah diupayakan oleh WTO untuk dialihkan menjadi hambatan tarif, sehingga sulit untuk mencari contoh konkrit penerapannya. Bahkan, banyak negara berkembang mengikuti saran-saran WTO untuk mengurangi tingkat tarif impor-nya, seperti Indonesia. Akan tetapi, kebijakan larangan impor di Nigeria patut dipelajari lebih lanjut, karena Nigeria pernah menggunakan kebijakan larangan impor sebagai instrumen kebijakan perdagangan utama.


BAB 3
PEMBAHASAN

A.Kebijakan Larangan Impor Berorientasi Lingkungan Hidup

Pemerintah suatu negara dapat melarang impor produk tertentu karena produk itu berbahaya bagi manusia, hewan, maupun tumbuhan di suatu negara, atau karena produk itu merupakan hasil eksploitasi sumber daya alam hingga merusak keseimbangan ekologi.

Di Indonesia, terdapat beberapa produk yang dilarang masuk ke Indonesia karena berbahaya bagi lingkungan hidup, antara lain limbah plastik (Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 520/MPP/Kep/8/2003), Pestisida etilen dibromida, Limbah B3 kecuali item tertentu, Udang spesies Penaeus Vanamae (Peraturan Bersama Mendagri dan Menteri Kelautan dan Perikanan), dan produk susu dan olahan susu dari Cina. Akan tetapi, pada Agustus 2008 muncul berita bahwa Pemerintah akan mengizinkan impor limbah plastik untuk memenuhi kebutuhan bahan baku murah bagi industri, karena menurut data Asosiasi Industri Plastik dan Olefin Indonesia, selama semester pertama 2008 harga bahan baku plastik polyethylene dan polypropylene naik 100 persen dari US$ 1.100 menjadi US$ 2.200 per ton. Sedangkan pelarangan impor udang spesies Penaeus Vanamae adalah karena di pasar internasional beredar udang jenis ini yang terserang penyakit.

Produk susu dan olahan susu dari Cina juga masuk dalam daftar larangan impor di 31 negara lain, menyusul terjadinya skandal susu bermelamin di Cina. pada akhir September 2008, dilaporkan susu bermelamin telah menimbulkan 94.000 korban, termasuk 4 bayi meninggal karena kerusakan ginjal. Pada tahun 2004, terjadi kasus malnutrisi anak-anak di Cina Daratan , akibat susu yang tidak mengandung protein. Oleh karena itu, Pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai kandungan protein. Nampaknya, perusahaan-perusahaan susu di Cina menambahkan melamin dalam susu agar seakan-akan susunya mengandung protein yang tinggi. WHO menyebutkan bahwa ini adalah salah satu skandal keamanan makanan paling besar dalam beberapa tahun terakhir. Setelah terungkapnya skandal ini di dunia Internasional, reputasi ekspor makanan asal Cina menjadi jelek, dan tercatat 11 negara menghentikan seluruh impor produk susu dan olahan susu dari Cina Daratan. Sejumlah pejabat yang terlibat ditahan, yaitu direktur Sanlu, perusahaan susu terkemuka di Cina, dan tujuh petugas pemerintah lokal, selain itu direktur Administration of Quality Supervision, Inspection, and Quarantine (AQSIQ) juga dipecat karena skandal ini.

Dampak dari skandal susu ini tidak hanya sampai disini, sejumlah organisasi internasional mengecam terjadinya skandal ini, antara lain US FDA, WHO, EFSA, dan UNICEF. Skandal ini menimbulkan berbagai pertanyaan mengenai kontrol kualitas produk yang dilakukan Pemerintah Cina. Apalagi, pada Oktober 2008 Jepang, Korea Selatan, dan Hongkong menemukan kandungan melamin dalam produk telur dan ayam beku dari Cina; selain itu Malaysia juga menemukan kandungan melamin pada Baking Powder (ammonium bicarbonate) asal Cina, yang notabene bukan produk berbahan dasar susu.

Ketika marak virus avian influenza (flu burung), sejumlah besar negara juga melarang impor produk unggas, baik hidup atau mati. Namun PBB memperkirakan bahwa pelarangan impor burung liar (wild birds), walau di satu sisi merupakan upaya mencegah penyebaran flu burung dan dapat memberikan eksternalitas positif berupa perlindungan pada burung-burung langka, tapi di sisi lain justru mempersulit pendeteksian penyebaran virus, karena perdagangan burung langka di pasar gelap justru meningkat.

Selain ditujukan untuk mencegah masuknya produk yang membahayakan lingkungan hidup suatu negara, kebijakan larangan impor juga bisa diberlakukan dengan alasan perlindungan terhadap lingkungan hidup negara lain. Misalnya European Economic Community (EEC) melarang impor Whitecoat, sejenis anjing laut, pada tahun 1983, setelah Amerika Serikat dan Kanada melarang perburuan spesies ini. Sejak 6 Oktober 2005, Amerika Serikat juga melarang impor kaviar Sturgeon (Huso Huso) dan semua produk lain yang berasal dari ikan tersebut, karena ikan ini termasuk spesies yang dilindungi dalam daftar Appendix III di Bern Convention. Pada September 1992, Austria melarang impor produk kayu ilegal dari hutan tropis dan mengenakan bea masuk tinggi atas produk kayu mentah, karena mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup di hutan-hutan tropis. Akan tetapi, pelarangan impor ini dibatalkan oleh parlemen, setelah negara-negara pengekspor kayu seperti Malaysia dan Indonesia memprotes kebijakan ini. Amerika Serikat pada 18 Juni 2008 memberlakukan larangan impor kayu dan produk kayu ilegal ke negara tersebut, seiring dengan amandemen undang-undang perdagangan tumbuhan dan satwa liar yang dikenal dengan Lacey Act. Uni Eropa, juga diberitakan akan segera memberlakukan aturan yang menghambat masuknya kayu dan produk kayu ilegal ke wilayah tersebut.

Adanya larangan impor kayu dan produk kayu ilegal di negara konsumen dan kalau negara konsumen konsekuen untuk tidak menerima kayu dan produk kayu ilegal, maka akan berpengaruh positif untuk industri kehutanan Indonesia yang selama ini sangat terpukul produk ekspor kayu olahan negara pesaing yang memperoleh pasokan dari kegiatan Illegal logging. Industri panel kayu Indonesia belakangan kesulitan bersaing dengan industri di negara-negara pesaing, seperti China dan Malaysia, yang mendapatkan bahan baku murah dari kegiatan illegal logging di wilayah Indonesia. Komponen biaya industri plywood sebesar 50% adalah log. Jadi, ketika industri di negara pesaing mendapatkan log murah yang berasal dari illegal logging, sedang industri Indonesia menggunakan log legal yang mahal, maka industri kehutanan Indonesia kalah bersaing.

B.Kebijakan Larangan Impor Untuk Melindungi Industri Dalam Negeri dan Menjaga Balance of Payments

Dalam kondisi normal, suatu anggota WTO dilarang untuk melakukan pembatasan kuantitatif untuk impor dan ekspor sebagaimana diatur dalam pasal XI GATT 1994. Namun demikian, dalam kondisi tertentu negara anggota dapat melakukan safeguard measures sebagai langkah guna melindungi industri domestik dari kerugian yang disebabkan peningkatan impor. Terdapat dua kondisi untuk menerapkan safeguards measures, yakni :
1)Terjadi peningkatan impor dibandingkan produksi barang sejenis di dalam negeri.
2)Peningkatan impor tersebut mengancam dan mengakibatkan kerugian yang serius terhadap industri dalam negeri yang memproduksi barang serupa.
Dengan adanya ketentuan ini, diharapkan negara tersebut dapat melakukan penyesuaian atas produk tertentu yang menghadapi tekanan yang berasal dari impor barang yang diakibatkan terjadinya persaingan atau kompetisi secara internasional. Safeguards measures bersifat sementara dan semata-mata dilakukan dalam rangka proses penyesuaian bagi industri domestik yang menghadapi tekanan. Safeguards measures tidak dapat digunakan untuk memproteksi industri domestik dalam jangka panjang.

Apabila negara anggota WTO menghadapi kesulitan neraca pembayaran (balance of payments/BOP difficulties), maka negara anggota tersebut dapat menerapkan pembatasan atas perdagangan jasa yang menyebabkan timbulnya komitmen termasuk pembayaran atau transfer yang berkitan dengan komitmen tersebut. Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi agar pengecualian tersebut dapat diberlakukan adalah :
1)Perekonomian negara berkembang tersebut lemah, sehingga hanya dapat menyokong standar kehidupan yang rendah.
2)dalam tahap awal pembangunan.
3)mengalami kesulitan BOP sebagai akibat dari kebijakan membuka pasar domestik dan perubahan persyaratan perdagangan (terms of trade).

Nigeria adalah negara yang kaya sumber daya minyak bumi. Dalam peta percaturan negara-negara penghasil minyak dunia, Nigeria merupakan penghasil minyak terbesar ke-empat di antara negara anggota OPEC dan ke-9 terbesar se-dunia. Produksi minyak Nigeria mencapai 2,256 juta barel/hari dengan konsumsi dalam negerinya 275 ribu barel/hari (estimasi pada tahun 2001). Dari neraca ekonomi tahun 2001, Nigeria tercatat mendapat pemasukan terbanyak dari hasil perdagangan petroleum dan gas bumi, yakni sekitar 98% dari total ekspor atau 80% pendapatan negara.

Sejak pertengahan 1970-an, instrumen kebijakan perdagangan utama Nigeria bergeser dari hambatan tarif impor ke hambatan kualitatif impor, khususnya larangan impor (import prohibition) dan persyaratan impor (import licensing). Maka, pemerintah Nigeria menyusun sebuah daftar panjang produk-produk yang dilarang masuk ke Nigeria, difokuskan terutama pada produk agrikultur seperti buah, sayuran, biji-bijian, daging, dan ikan; serta produk manufaktur termasuk karet, kayu mentah, tekstil, dan barang kimia.

Walaupun item-item produk yang dilarang terus mengalami perubahan dari tahun ke tahun, tapi cenderung meliputi produk-produk yang sejenis. Perkembangan pada tahun 2001-2004 menunjukkan kenaikan dalam cakupan kelompok produk yang masuk dalam daftar larangan impor, dari 27 kelompok pada Februari 2003 menjadi 35 kelompok pada Januari 2004.

Pemerintah Nigeria beralasan bahwa penggunaan larangan impor sebagai instrumen kebijakan perdagangan utama didesain untuk menggiatkan industri, menyediakan lapangan kerja, dan menjaga balance of payments dalam konteks industri substitusi impor. Elemen kunci rezim ini termasuk melindungi industri lokal dan mengurangi ketergantungan pada impor, serta memastikan ketersediaan bahan mentah dan barang modal yang tidak bisa disediakan di dalam negeri. Kebijakan perdagangan ini ditujukan untuk menekan impor semua produk makanan yang sepertinya mampu didapatkan di dalam negeri, khususnya sektor agrikultur. Sedangkan pelarangan impor produk manufaktur bertujuan untuk meningkatkan penggunaan bahan mentah lokal dalam industri Nigeria.

Akan tetapi, rezim substitusi impor ini justru cenderung melindungi industri dalam negeri yang tidak efisien dan meningkatkan pertumbuhan black market. Sebagaimana disebutkan dalam salah satu situs berita Nigeria, “...the negative consequences of import prohibition, including raising the domestic prices of banned products, disrupting other sectors that use the prohibited imports as raw materials, depriving government of tariff revenue and creating vested interests among domestic producers of prohibited items and smugglers had always been the case in Nigeria.”. Sebuah survei yang diadakan oleh Manufacturers Association of Nigeria pada 1989 mengungkapkan bahwa neraca pembayaran Nigeria ditentukan oleh dan tergantung pada pasar minyak dunia, serta tidak berkorelasi dengan perubahan-perubahan dalam kebijakan larangan impor. Selain itu, tidak ada bukti bahwa industri lokal mendapatkan keuntungan dari kebijakan larangan impor yang ekstrim ini, karena tingkat kapasitas produksi berhubungan secara positif dengan ketersediaan bahan mentah domestik. Di sisi lain, industri lokal tidak memiliki daya saing kompetitif dan ketersediaan infrastruktur sangat rendah.

Kebijakan larangan impor demi industri lokal tidak diimbangi dengan penyediaan infrastruktur yang memadai. Pihak industri sendiri menyatakan bahwa seharusnya pemerintah memikirkan bagaimana menyediaan infrastruktur bagi mereka, daripada melakukan pelarangan impor. Misalnya dalam kasus industri baja, untuk mencegah perusahaan-perusahaan baja gulung tikar, maka pemerintah Nigeria harus menyediakan tenaga listrik sekitar 70-80 megawatt. Dengan melakukan pelarangan impor, pemerintah telah menciptakan pasar bagi produk lokal, tapi industri lokal sendiri kesulitan untuk memenuhi permintaan pasar. Akibatnya, terjadi kelangkaan, rendahnya kualitas produk dan mahalnya harga barang-barang, sehingga konsumen menjadi korban dari kebijakan ini.

Faktanya, walaupun berneraca surplus dalam perdagangan internasional, tapi Nigeria terbelit utang, sebagai akibat dari ketergantungan yang berlebihan pada perdagangan sektor minyak yang padat modal dan harga produknya sangat fluktuatif. Negeri ini sempat menikmati masa kejayaan harga jual minyak pada tahun 1980-an, sehingga membuat GDP Nigeria menembus US$81 miliar pada tahun 1985, namun angka GDP terus melorot menjadi US$40,5 miliar saja pada 1995. Akibatnya, Nigeria menanggung beban utang luar negeri yang tak tertanggungkan yakni US$1,7 miliar per tahun untuk mencicil utang dan bunganya yang semakin membesar, atau sekitar separuh dari nilai yang harus dibayarkan. Selain anjloknya harga minyak sejak tahun 1980-an, tingkat korupsi yang tinggi juga menyebabkan keadaan ekonomi Nigeria memburuk (Transparency International mencantumkan Nigeria sebagai negara terkorup ketiga se-dunia).

Dalam perkembangan berikutnya, WTO berhasil mendorong Nigeria untuk menghapuskan hambatan impornya dalam delapan tahun program eliminasi. (WTO 1998). Sebagaimana dapat dilihat pada Implementation of the Year 2008 Fiscal Policy Measures and Tariff Amendments yang dikeluarkan Budget Office Nigeria (Lampiran 2), bahwa larangan impor dialihkan ke hambatan tarif impor yang cukup tinggi, khususnya untuk produk-produk yang dapat ditemukan di dalam negeri.


BAB 4
KESIMPULAN

Kebijakan larangan impor yang berorientasi lingkungan hidup dapat mencegah masuknya produk yang berbahaya bagi manusia, hewan, maupun tumbuhan di suatu negara. Dampak yang ditimbulkan antara lain
1.Masyarakat terlindungi dari produk-produk yang terkontaminasi bahan yang berbahaya bagi kesehatan.
2.Berupaya mencegah kepunahan spesies-spesies tertentu, terutama wild bird dan anjing laut.
3.Berupaya mencegah kerusakan lingkungan , terutama hutan, yang lebih luas.
4.Meningkatkan perdagangan di pasar gelap.
5.Mempersulit upaya untuk mendeteksi kerusakan yang ditimbulkan, karena impor terjadi di pasar gelap.
6.Pelarangan impor kayu ilegal oleh negara konsumen akan meningkatkan daya saing industri kayu legal di negara produsen dan meningkatkan pendapatan negara pemilik hutan.

Rezim substitusi impor di Nigeria cenderung melindungi industri lokal yang tidak efisien dari persaingan internasional, karena kebijakan larangan impor tidak diimbangi dengan pembangunan infrastruktur yang dibutuhkan oleh industri dalam negeri. Penggunaan kebijakan larangan impor sebagai instrumen kebijakan perdagangan utama dengan tujuan menggiatkan industri lokal dan menjaga balance of payment di Nigeria terbukti gagal. Salah satu sebabnya adalah karena kebijakan larangan impor ini diambil tanpa pertimbangan para pakar, sehingga tidak menyentuh akar permasalahan.


BAB 5
DAFTAR PUSTAKA

Amuwa, David. 2008. Between Import Prohibition and Local Manufacturing. www.punchng.com/index.aspx [diakses pada 11/11/2008]
Anonim. 2008 Chinese Milk Scandal. en.wikipedia.org/wiki/2008_chinese_milk_scandal [diakses pada 05/11/2008]
Anonim. Whitecoat. en.wikipedia.org/wiki/whitecoat [diakses pada 05/11/2008]
Anonim. TED Case Studies: Austria Timber Import Ban. www.american.edu/ted/ted.htm [diakses pada 05/11/2008]
Anonim. 2005. Nigeria, Si Hitam Miskin. www.kapanlagi.com [diakses pada 11/11/2008]
Arifin, Samsul, Dian Ediana Rae, dan Charles P.R. Joseph. 2007. Kerjasama Perdagangan Internasional: Peluang dan Tantangan bagi Indonesia. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
Bhalla, Nita. 2005. UN Official: Bird Ban May Worsen Epidemic. www.redorbit.com [diakses pada 05/11/2008]
Federal Ministry of Finance. Customs Duty Amendment 2008. www.google.com [diakses pada 11/11/2008]
Desyana, Cornila. 2008. Larangan Impor Limbah Plastik Dicabut. www.tempo.co.id [diakses pada 09/11/2008]
Oyejide, Ademola, A. Ogunkola and A. Bankole. MANAGING THE CHALLENGES OF WTO PARTICIPATION: CASE STUDY 32 “Import Prohibition as a Trade Policy Instrument: The Nigerian Experience”. http://www.wto.org/english/res_e/booksp_e/casestudies_e/case32_e.htm [diakses pada 05/11/2008]
Peraturan Bersama Menteri Perdagangan Republik Indonesia dan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 27/M-DAG/6/2007 dan Nomor PB.01/MEN/2007 Tentang Larangan Sementara Impor Udang Spesies Tertentu ke Wilayah Republik Indonesia.
WTO. World Tariff Profiles 2008. www.wto.org [diakses pada 09/11/2008]

MARXISME KLASIK : BUNGA RAMPAI PEMIKIRAN KARL MARX DAN ENGELS

MAKALAH
MARXISME KLASIK : BUNGA RAMPAI PEMIKIRAN
KARL MARX DAN ENGELS
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Sosiologi Politik dan Pembangunan


JURUSAN EKONOMI PEMBANGUNAN
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2008
_________________________________________________________________________________

BAB 1
PENDAHULUAN

A.Latar Belakang
Marxisme Klasik merupakan teori-teori yang secara langsung dilahirkan oleh Karl Marx dan Friedrich Engels. Istilah “Marxisme Klasik” digunakan untuk membedakan antara “Marxisme” yang dipahami secara luas dengan apa yang diyakini oleh Marx. Sedangkan Marxisme adalah teori maupun aplikasi yang didasarkan pada interpretasi atas karya-karya Marx dan Engels.

Di antara aliran pemikiran, tak ada ekonom atau filsuf lain yang menciptakan begitu besar semangat dan gairah religius seperti Karl Marx. Marx menjadi tokoh pujaan visioner dan revolusioner, bukan sekadar seorang ekonom. Ketika membaca The Communist Manifesto yang tebalnya sekitar 150 halaman, seseorang pasti merasakan adanya aliran semangat, gaya yang tajam, dan kesederhanaan yang mengagumkan dalam kalimat-kalimat Marx dan Engels (Skousen, 2001:163).

Marx tidak hanya menciptakan fanatisme di kalangan generasi muda, tetapi juga memberikan kontribusi besar dalam berbagai disiplin ilmu. Bahkan saat ini, pendekatan Marxis dalam pendidikan dan riset di Barat digunakan dalam berbagai disiplin ilmu, yaitu Antropologi, Media Studies, Teater, Sejarah, Teori Sosiologi, Ekonomi, Literary Criticism, Aesthetic, dan Filsafat.

B.Rumusan Masalah
Dari uraian yang dikemukakan diatas, dapat disimpulkan bahwa Marxisme Klasik memiliki pengaruh yang sangat luas dalam berbagai disiplin ilmu. Akan tetapi, literatur berbahasa Indonesia yang membahas mengenai Marxisme Klasik dalam penuturan yang sederhana masih sulit ditemui. Oleh karena itu, dalam makalah ini, Kami bermaksud memaparkan ide-ide utama dalam Marxisme Klasik yang dilahirkan oleh Karl Marx dan Friedrich Engels.


C.Tujuan
Dari rumusan masalah yang telah dikemukakan diatas, maka tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui ide-ide utama dalam Marxisme Klasik yang dilahirkan oleh Karl Marx dan Friedrich Engels.

D.Manfaat
Penulisan makalah ini diharapkan dapat menguak dan menambah pengetahuan serta informasi mengenai Marxisme Klasik.

BAB 2
PEMBAHASAN

Marxisme sebenarnya adalah suatu sintesis dari berbagai arus ideologi yang berkembang pada masa awal dan pertengahan abad ke-19. Arus-arus ini adalah pemikiran-pemikiran filsuf Jerman (Immanuel Kant, dialektika Hegel, materialisme Feurbach, teori perang kelas dari Michelet), doktrin-doktrin ekonomi Inggris dan Skotlandia dari Smith dan Ricardo, serta sosialisme Perancis (J.J. Rousseau, Charles Fourier, Henri de Saint-Simon, Pierre-Joseph Proudhon, Louis Blanc). Namun dua filsuf radikal yang sangat mempengaruhi Karl Marx adalah G.W.F. Hegel yang mengembangkan materialisme dialektis, yaitu semua kemajuan dicapai melalui konflik, dan Ludwig Feuerbach dengan bukunya, yaitu The Essence of Christianity.

Fondasi teori Marxisme terangkum dalam tiga tema besar: Pertama adalah filsafat Materialisme, asas pokok filsafat ini, berdiri tegak di atas landasan Materialisme dialektika dan Materialisme historis. Kedua, ekonomi politik. Pembahasan yang paling penting dalam masalah ini yaitu pandangan materialisme dalam teori nilai laba atau keuntungan, beserta segala yang terkait dengan hal itu; baik rentetan yang mempengaruhi kondisi sosial masyarakat, bahkan yang menyentuh dimensi agama. Ketiga; konsep ketatanegaraan dan pandangan revolusi. Namun, konsep ketiga ini dalam perkembangannya saat ini sudah berada diluar lingkup Marxisme Klasik, sehingga tidak akan dibahas dalam makalah ini.

Dalam pandangan Marxis, materi adalah tuhan itu sendiri, tiada yang mempunyai kekuatan dalam penciptaan kecuali materi. Marxisme dimulai dengan ide bahwa materi adalah esensi dari semua realitas, dan materilah yang membentuk akal, bukan sebaliknya. Hanya materilah yang merupakan esensi awal pencipta dari segenap wujud, kemudian berevolusi menggunakan teori hukum dialektika internal menuju kehidupan nabati, berevolusi lagi menuju kehidupan hewani, kemudian insani dan, pada akhirnya menciptakan karya terbesar yang mampu membedakan manusia dengan wujud lain, terciptalah logika.

Pada umumnya Marxisme muncul mengambil bentuk dari tiga akar pokok, Salah satu dari akar itu ialah analisis Marx tentang politik Prancis, khususnya revolusi borjuis di Prancis tahun 1790an, dan perjuangan-perjuangan kelas berikutnya diawal abad ke-19. Akar lain dari Marxisme adalah apa yang disebut ‘ekonomi Inggris’, yaitu analisis Marx tentang sistem kapitalis seperti yang berkembang di Inggris. Akar ketiga dari Marxisme, yang menurut catatan sejarahnya merupakan titik permulaan Marxisme, adalah ‘filsafat Jerman’.

Menurut Marx, tak ada yang disebut dengan fitrah manusia (individual human nature), yang mengacu pada suatu kumpulan karakteristik manusia secara umum dan pokok, serta karenanya juga mengacu pada sesuatu yang secara definitif konstan tidak berubah. Mengingat bahwa manusia tidak memiliki individual human nature, maka kesadaran mereka dan aspek-aspek lain seperti sosial, politik, dan proses intelektual kehidupan mereka, senantiasa berubah dan perubahan ini ditentukan oleh kondisi-kondisi materiil kehidupan (The Material Conditions of Life) dan secara spesifik oleh metode produksi.

Sebagaimana dalam Selected Writings in Sociology and Social Philosophy, Karl Marx menyebutkan, “Mode produksi dalam kehidupan materiil manusia menentukan karakter umum proses kehidupan sosial, politik, dan intelektual. Bukan kesadaran manusia yang menentukan diri mereka, melainkan sebaliknya, keadaan sosial lah yang menentukan kesadaran mereka”. Senada dengan yang dikatakan Engels, “Pikiran tidak menciptakan materi, namun materilah yang menciptakan pikiran.” Maka, untuk mengerti dan mendefinisikan sebuah filsafat, teori ataupun ideologi, menurut Marx perlu menganalisis “kenyataan sosial” yang merupakan dasar filsafat tersebut. Marxisme mewakili pertentangan yang sistematis dan fundamental dengan idealisme dalam segala bentuknya, dan perkembangan Marxisme mencerminkan suatu pemahaman materialis tentang apa yang tengah terjadi dalam realitas (kenyataan).

Pendek kata, Marxisme adalah teori untuk seluruh kelas buruh secara utuh, independen dari kepentingan jangka pendek dari berbagai golongan sektoral, nasional, dan lain-lain. Atau dengan kata lain, Marxisme terlahir dari perlawanan dan perjuangan kelas buruh melawan sistem kapitalis, dan juga mewujudkan obsesi kemenangan gerakan sosialis. Maka Marxisme bertentangan dengan oportunisme politik, yang justru mengorbankan kepentingan umum seluruh kelas buruh demi tuntutan sektoral dan/atau jangka pendek.

Dalam Marxisme klasik, basis ekonomi dalam masyarakat menciptakan supra-struktur (politik-ideologi dll)—hubungan-hubungan ekonomi menghasilkan fenomena-fenomena sosial, budaya dan politik yang meliputi semua hal termasuk diantaranya ideologi, kesadaran politik hingga budaya yang berhubungan dengan media.

Marx meyakini bahwa identitas suatu kelas sosial ditentukan oleh hubungannya dengan sarana-sarana produksi. Berdasarkan hal itu, ia mendeskripsikan kelas-kelas sosial dalam masyarakat Kapitalis, yang terdiri atas :
1)Kaum proletar (the proletariat), yaitu mereka yang menjual tenaga kerja mereka karena mereka tidak memiliki sarana produksi sendiri. Menurut Marx, mode produksi kapitalis membangun kondisi dimana kaum borjuis mengeksploitasi kaum proletar, berdasarkan fakta bahwa tenaga kerja menghasilkan nilai tambah yang lebih besar daripada gaji yang mereka terima.
2)Kaum borjuis (the bourgeoisie), yaitu mereka yang memiliki sarana produksi sendiri, dan membeli tenaga kerja dari kaum proletar dan mengeksploitasi mereka. Kaum borjuis selanjutnya dibagi lagi menjadi the very wealthy bourgeoisie dan the petit bourgeoisie yang walaupun mempekerjakan orang lain, tapi masih perlu bekerja sendiri. Marx memprediksikan bahwa petit bourgeoisie akan dihancurkan oleh penemuan sarana-sarana produksi baru yang terus menerus, dan akan menggeser kedudukan sebagian besar dari mereka menjadi kaum proletar.
Marx juga mengidentifikasikan kelas-kelas lain, yaitu:
1)Lumpenproletariat, yaitu suatu strata dalam perekonomian yang sama sekali tidak terhubung dengan sarana-sarana produksi, antara lain para perampok, petualang (vagabond), kriminal, dan lain sebagainya.
2)Landlords, yaitu suatu kelas yang penting di masa lalu, dan beberapa diantaranya masih memiliki kekayaan dan kekuasaan.
3)The Peasantry dan The Farmers, yang mana Marx memandang kelas ini tidak terorganisir dan tidak mampu membuat perubahan. Marx juga meyakini bahwa kelas ini lama kelamaan akan menghilang, dengan kebanyakan dari mereka menjadi kaum proletar, tapi beberapa diantaranya menjadi tuan tanah (Landowner).

Konsep pokok dalam analisis Marx adalah “alienasi” atau “keterasingan”, yang timbul dalam masyarakat kapitalis karena eksploitasi terhadap kaum proletariat (buruh) oleh kaum borjuis. Padahal semua nilai ekonomi berasal dari kaum proletar, tetapi mereka tidak mendapatkan lebih dari upah subsisten, yaitu upah yang hanya cukup untuk melanjutkan hidup dan melahirkan keturunan. Saldo (nilai surplus) tetap digenggam oleh kaum borjuis, karena itu mereka menjadi kuat dan memojokkan kaum proltar dalam suatu kondisi perbudakan abadi. Proses ini akan “memerosotkan martabat” dan “memberlakukan dehumanisasi” pada kaum proletar, sehingga menurunkan mereka menjadi potongan manusia (alienasi). Mereka akhirnya tidak mampu mengembangkan potensi kemanusiaannya secara penuh. Eksploitasi ini menyebabkan pembagian masyarakat menjadi dua kelas antagonis dan meniupkan api peperangan kelas yang membentuk inti proses sejarah umat manusia. Umat manusia tidak bebas, mereka adalah bidak-bidak diatas papan catur sejarah. Nasib mereka ditentukan oleh konflik kepentingan ekonomi yang tidak dapat dihindari dalam berbagai kelas masyarakat manusia (determinisme ekonomi).

Menurut argumen ini, kunci sejarah tidak terletak pada gagasan-gagasan manusia, tetapi pada kondisi ekonomi kehidupan mereka. Agama dan negara dalam suatu masyarakat borjuis adalah bagian integral dari konflik ini dan dipakai oleh kaum borjuis untuk menindas kaum proletar. Karena itu, mereka amat berperan dalam proses alienasi manusia. Alienasi akan menghilang, bila terdapat suatu masyarakat yang tak berkelas, dan negara akan punah setelah melewati berbagai tingkatan proses sejarah. Karena itu, kewajiban yang pasti adalah menghapuskan semua keadaan dimana umat manusia dilecehkan, diperbudak, dan ditinggalkan sebagai makhluk terhina.

Satu-satunya cara untuk mengakhiri alienasi adalah menghapuskan kepemilikan barang, yang merupakan sebab utama. Hal ini akan menghapuskan hak-hak istimewa kaum borjuis dan juga akan memotong kekuasaan eksploitatif dan politik mereka. Cara yang paling efektif untuk mengakhiri ini adalah dengan melancarkan suatu revolusi yang digerakkan oleh kaum proletar untuk meruntuhkan secara paksa sistem kapitalis.

Marx menolak pendekatan kaum utopia sosial (yaitu eksperimen-eksperimen humanitarian berskala kecil dalam masyarakat) sebagai pembunuh perjuangan kelas. Usaha dari pihak pemerintah untuk memodifikasi pola-pola distribusi tidak akan berhasil membawa sosialisme. Untuk menciptakan suatu masyarakat yang benar-benar harmonis, yang mencerminkan gagasan “dari tiap-tiap orang diambil menurut kemampuannya dan kepada tiap orang diberikan menurut kebutuhannya”, maka sistem kapitalis harus mengalami suatu transformasi revolusioner. Setelah masyarakat berhasil melikuidasi kaum borjuis dan mengkolektifikasi sarana-sarana produksi yang dimiliki swasta, maka saat itu telah berhasil mewujudkan suatu masyarakat rasional progresif (yang bercirikan) tanpa upah, tanpa uang, tak ada kelas-kelas, dan akhirnya tak ada negara, yaitu “suatu asosiasi bebas para produsen dibawah kontol purposif dan kesadaran mereka sendiri”. Kejatuhan kaum borjuis dan kemenangan kaum proletar sama-sama tidak dapat dielakkan.

Gagasan ini tertuang dalam teori Marxis tentang Materialisme Historis (Historical Materialism). Materialisme Historis memahami masyarakat ditentukan secara fundamental oleh kondisi material dalam waktu tertentu. Ini berarti hubungan dimana masyarakat saling berhubungan untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka, misalnya makanan dan minuman. Marx dan Engels mengidentifikasikan lima tahapan pembangunan (dan satu masa peralihan) berdasarkan kondisi-kondisi material ini di Eropa Barat :
1)Primitive Communism, sebagaimana dapat dilihat di kerjasama masyarakat suku (Cooperative Tribal Society).
2)Slave Society, yang terbangun setelah suku-suku berubah menjadi negara kota. Disinilah para aristokrat lahir.
3)Feudalism, yaitu dimana para aristokrat menjadi golongan yang berkuasa (ruling class), dan para pedagang mulai berubah menjadi kapitalis.
4)Capitalism, para kapitalis menjadi golongan yang berkuasa, yang memciptakan dan mempekerjakan kelas pekerja yang sesungguhnya.
5)Socialism (Dictatorship of the Proletariat), yaitu saat ketika para pekerja meraih kesadaran kelas (Class Consciousness), menyingkirkan para kapitalis, dan mengambil alih kendali negara.
6)Communism, yaitu sebuah masyarakat tanpa kelas (Classless) dan tanpa negara (Stateless).
Perjuangan gerakan marxisme klasik itu sendiri dinilai masih belum mampu menghalau kapitalisme yang semakin menyebar luas di masyarakat. Untuk membenahi gerakan dan konsepsi marxisme klasik tersebut, muncul lah pemikiran baru di kalangan marxis (Neo Marxism) yang bercorak revisionistik. Neo Marxism menemukan beberapa penyebab kegagalan gerakan marxisme klasik melawan kapitalisme. Pertama, karena tidak terorganisirnya kaum buruh dalam suatu partai. Kedua, kaum buruh memiliki kesadaran yang lemah atas situasi penindasan. Kesadaran palsu (false conciousness) masih mengakar di dalam kelas buruh. Agar mereka (para buruh) berhasil menghantam kapitalisme, dibutuhkan gerakan kolektivitas massa dalam suatu disiplin partai dan pemahaman atas hegemoni kaum kapitalis.

Dalam perkembangan selanjutnya, terdapat berbagai school of thought dalam Marxisme itu sendiri, antara lain Western Marxism yang memiliki cabang-cabang Structural Marxism, Neo Marxism, The Frankfurt School, Cultural Marxism, Autonomist Marxism, Analytical Marxism, Marxist Humanism, dan Marxist Theology; serta ada juga Post Marxism dan Marxism Feminism. Dan bahkan setelah meninggalnya Karl Marx pada tahun 1883, berbagai kelompok yang menggunakan basis pemikiran Marxisme dalam politik dan kebijakan mereka, bermunculan di seluruh dunia, yang mana kadang-kadang mereka saling bertentangan satu sama lain. Misalnya antara para pendukung Demokrasi Sosial yang berpendapat bahwa transisi menuju Socialism dapat terjadi di dalam sebuah sistem parlementer borjuis, dengan Komunis yang menyatakan bahwa transisi menuju masyarakat sosialis membutuhkan sebuah revolusi dan penghancuran negara kapitalis.


BAB 3
PENUTUP

Marxisme Klasik merupakan teori-teori yang secara langsung dilahirkan oleh Karl Marx dan Friedrich Engels. Dasar-dasar Marxisme amat dipengaruhi oleh G.W.F. Hegel yang mengembangkan materialisme dialektis, yaitu semua kemajuan dicapai melalui konflik, dan materialisme Ludwig Feuerbach. Ide-ide utama dalam Marxisme meliputi Eksploitasi, Alienasi, Basis dan Superstructure, Kesadaran Kelas (Class Consciousness), Ideologi, Materialisme Historis, dan Ekonomi Politik.


DAFTAR PUSTAKA

Anonim. Classical Marxism. en.wikipedia.org/wiki/Classical_Marxism [diakses pada 13/10/2008 10:07]
Anonim. Marxism. en.wikipedia.org/wiki/Marxism [diakses pada 13/10/2008 10:07]
Chapra, M. Umer. 2000. Islam dan Tantangan Ekonomi. Jakarta: Gema Insani. Terjemahan dari: Islam and The Economic Challenge
Felagonna, Utche P. Tentang Louis Althusser, Sebuah Catatan Investigasi. sadikingani.rumahkiri.net. [diakses pada 15/10/2008 15:43]
Firdaus, J. Sketsa Dasar Ideologi Marxisme. pwkpersis.wordpress.com [diakses pada 15/0/2008 15:46]
Hidayat, Rahmat. Teori Marxis dalam Hubungan Internasional. alfalahconnection.wordpress.com [diakses pada 15/10/2008 15:45]
Skousen, Mark. 2006. Sang Maestro “Teori-Teori Ekonomi Modern”: Sejarah Pemikiran Ekonomi. Jakarta: Prenada. Terjemahan dari: The Making of Modern Economics: The Lives and Ideas of the Great Thinkers